Di era digital ini, munculnya konten kreator daerah bukan lagi hal yang asing. Hampir setiap hari, media sosial dibanjiri oleh unggahan dari individu yang dengan bangga menyebut dirinya sebagai “konten kreator”. Fenomena ini, pada awalnya, disambut dengan antusiasme. Banyak dari mereka yang dianggap berhasil memanfaatkan teknologi untuk mengasah kreativitas dan meraup penghasilan dari konten yang dihasilkan. Namun, di balik gemerlap kesuksesan ini, kita mulai dihadapkan pada realitas yang cukup mengkhawatirkan, yakni mayoritas konten yang diproduksi lebih banyak bersifat hiburan murahan dan minim nilai edukasi.
Banyak konten kreator daerah yang lebih mementingkan viralitas dibandingkan esensi dari konten yang mereka buat. Tidak jarang, konten yang diproduksi penuh dengan kata-kata kasar, hinaan, bahkan eksploitasi isu sensitif. Lebih tragis lagi, beberapa di antara mereka tidak segan-segan mengekspos momen-momen pribadi yang seharusnya sakral, seperti kematian orang tua, demi sekadar mendapatkan perhatian publik. Fenomena ini jelas menunjukkan adanya pergeseran orientasi dari kreativitas menjadi sekadar mengejar keuntungan finansial semata.
Seperti yang diungkapkan Besley & Chadwick (1992), media sosial sering kali menimbulkan pertentangan nilai etis dan moral. Keleluasaan yang difasilitasi oleh platform digital telah membuka ruang yang sangat luas untuk berinteraksi, tetapi di sisi lain, juga menjadi celah untuk perilaku yang tidak etis. Pengguna media sosial bebas mengungkapkan perasaan, ide, bahkan melakukan siaran langsung, tanpa mempertimbangkan dampak dari apa yang mereka bagikan.
Latar Belakang Konten Kreator Daerah
Sayangnya, sebagian besar konten kreator daerah berasal dari latar belakang pendidikan yang rendah dan lingkungan sosial yang cenderung permisif. Mereka mungkin memiliki kreativitas yang luar biasa, tetapi tanpa pemahaman yang cukup tentang etika dalam bermedia sosial, kreativitas itu berubah menjadi senjata yang merusak tatanan nilai di masyarakat. Seperti yang dikatakan Fahrimal (2018), kebebasan di media sosial bukanlah kebebasan tanpa batas. Etika komunikasi, baik di dunia nyata maupun maya, harus tetap dijunjung tinggi.
Penggunaan bahasa yang santun, penghindaran ujaran kebencian, serta kesadaran akan dampak dari konten yang dibagikan adalah beberapa elemen penting yang sering kali diabaikan. Rachman & Jakob (2020) menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menyebarkan konten, baik berupa teks maupun gambar. Sayangnya, banyak konten kreator yang justru menjadikan kontroversi sebagai strategi utama untuk menarik perhatian.
Baca pula Dosa Besar Para Penguasa jika Membunuh Takdir Tuhan Lewat Kebijakan Diskriminatif
Pranowo (2012) menambahkan bahwa kesantunan dalam komunikasi memerlukan kesadaran untuk menjaga perasaan orang lain. Namun, kesadaran ini tampaknya semakin langka di kalangan konten kreator daerah yang lebih fokus pada jumlah likes, komentar, dan share. Dalam perspektif Brown & Levinson (1987), konsep ‘muka positif’ dan ‘muka negatif’ juga patut menjadi pertimbangan. Sayangnya, banyak konten kreator yang lebih memilih merusak ‘muka’ orang lain demi keuntungan pribadi.
Penting untuk disadari bahwa media sosial bukan sekadar alat hiburan, tetapi juga platform yang memiliki potensi besar untuk edukasi dan pemberdayaan masyarakat. Johannesen et al. (2008) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif di media sosial memerlukan kesabaran, empati, dan niat baik. Jika nilai-nilai ini tidak diinternalisasi oleh para konten kreator, maka yang terjadi adalah degradasi moral di ruang digital.
Baca pula Hedonisme: Potret Mahasiswi Pencari Citra dan Haus Validasi
Media sosial seharusnya menjadi ruang untuk kolaborasi dan pertukaran gagasan positif, bukan sekadar panggung untuk konten yang memancing sensasi. Konten kreator idealnya bukan hanya sebagai “penghibur” tetapi juga sebagai agen perubahan yang mampu memberikan dampak positif bagi audiensnya. Namun, hal ini tentu memerlukan kesadaran dan pendidikan yang memadai.
Seperti yang dilaporkan oleh We Are Social dan Hootsuite (2020), jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 160 juta jiwa, dengan sebagian besar berada di rentang usia produktif. Angka ini menunjukkan betapa besar potensi media sosial sebagai alat untuk perubahan positif. Namun, jika potensi ini terus disia-siakan oleh konten kreator yang hanya mengejar popularitas instan, maka masa depan literasi digital di Indonesia akan semakin suram.
Penulis : Imam Alfafan Yakub
Rujukan :
Besley, A., & Chadwick, R. (1992). Ethical issues in jorunalism and the media. Roudledge.
Brown, P., & Levinson, S. C. (1987). Politeness some universals in language usage. Cambridge University Press.
Fahrimal, Y. (2018). Netiquette: Etika jejaring sosial generasi milenial dalam media sosial. Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan, 22(1), 69–78.
Johannesen, R. L., Valde, K. S., & Whedbee, K. E. (2008). Ethics in human communication. Waveland Press Inc.
Pranowo. (2012). Berbahasa secara santun. Pustaka Pelajar.
Rachman, E., & Jakob, E. (2020). Social media: Friend or foe? Kompas, 7.