Di tengah lorong-lorong kampus yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu dan mengembangkan intelektualitas, tersimpan realitas mencengangkan tentang fenomena hedonisme yang kian merajalela di kalangan mahasiswi. Mereka tampil dengan balutan glamor, namun di balik kilau kostum akademisnya tersembunyi sebuah kisah kelam tentang kehampaan dan kecewa.
Sosok-sosok muda ini kerap kali terlihat memamerkan kehidupannya melalui layar kaca media sosial. Setiap sudut pandang kamera mereka dipenuhi dengan deretan momen yang dirancang sedemikian rupa untuk membangun citra sosial. Jalan-jalan ke kafe mewah, berbelanja produk ternama, dan menampilkan penampilan yang seolah-olah berasal dari kalangan sosialita telah menjadi rutinitas mereka.
Baca pula Ketika Toxic Workplace Menjadi Realitas Kelam
Menurut Yusdita (2017), fenomena ini lebih dari sekadar gaya hidup. Ini adalah manifestasi dari hasrat untuk diakui dan dianggap eksis di tengah kompleksitas pergaulan modern. Ironisnya, kebanyakan mahasiswi yang berperilaku hedonis ini berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi standar, yang seharusnya membuat mereka lebih bijak dalam mengelola keuangan.
Samuri, Soegoto, & Woran (2018) mendefinisikan hedonisme sebagai upaya individu untuk mencari kesenangan dan menghindari perasaan tidak nyaman. Dalam konteks mahasiswi, hal ini diterjemahkan menjadi sebuah agenda untuk selalu tampil menarik, bahkan hingga pada tahap yang melampaui batas kewajaran.
Fenomena ini semakin menguat ketika mereka mulai mengadopsi budaya pencitraan dalam berbagai momen akademis. Perayaan seminar proposal, misalnya, tidak lagi dipandang sebagai momen intelektual, melainkan panggung untuk memamerkan popularitas. Buket bunga yang berlimpah, hadiah yang berlebihan, dan dokumentasi yang spektakuler telah menggantikan esensi akademik sejati.
Dewi dan Rusdarti (2017) menjelaskan bahwa perilaku konsumtif seperti ini dipengaruhi oleh faktor sosiologis. Mahasiswi tidak lagi membeli barang berdasarkan kebutuhan, melainkan keinginan untuk memenuhi hasrat akan pengakuan sosial. Setiap pembelian adalah investasi citra, bukan investasi pengetahuan.
Dampak terburuk dari fenomena ini terlihat pada cara mereka berpenampilan. Meskipun mengenakan jilbab, gaya berbusana mereka justru terkesan tidak sesuai dengan norma kesopanan. Rambut yang tetap diperlihatkan, potongan baju yang ketat, dan aksesoris berlebihan seolah-olah menjadi pernyataan akan kebebasan tanpa batas.
Eva dan Tatik (2015) melalui studi Suryanto mengungkapkan konsep konformitas sebagai akar permasalahan. Mahasiswi rela merubah persepsi dan perilakunya demi mendapatkan pengakuan dari kelompok sosial tertentu. Mereka lebih memilih untuk terlihat sama dan tidak ingin dianggap berbeda.
Ironisnya, mayoritas pelaku hedonisme ini adalah mahasiswi yang sudah semester tua dalam menempuh pendidikan. Mereka cenderung tidak fokus pada pencapaian akademik, lebih sibuk dengan ritual pencitraan daripada menyelesaikan studi tepat waktu. Kecerdasan akademik seolah-olah telah tergantikan oleh kecakapan dalam bermain peran di panggung sosial media.
Setiap postingan mereka adalah sebuah pertunjukan, setiap momen adalah panggung untuk mendapatkan validasi. “Like”, “komentar”, dan “share” telah menjadi komoditas tersendiri dalam ekonomi sosial media mereka. Seolah-olah harga diri mereka dapat diukur dari seberapa banyak orang yang mengapresiasi potret kehidupannya.
Fenomena ini tidak hanya memperlihatkan sisi kelam dari generasi muda, tetapi juga mengindikasikan krisis identitas. Mereka lebih memilih untuk menjadi seseorang yang tidak autentik daripada menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Kampus, yang seharusnya menjadi tempat pembentukan karakter, justru telah berubah menjadi arena kompetisi citra.
Baca pula Seni Moderasi dalam Rumah Kebangsaan
Kekhawatiran semakin mendalam manakala kita melihat bahwa perilaku ini tidak hanya berdampak pada aspek psikologis individu, tetapi juga pada struktur sosial yang lebih luas. Nilai-nilai akademik, etika, dan integritas intelektual perlahan terkikis oleh budaya instan dan superfisial.
Tidak jarang, untuk mempertahankan gaya hidup hedonis ini, mereka rela melakukan berbagai cara. Yusdita (2017) bahkan mengungkapkan praktik memalsukan bukti pembayaran SPP demi dapat melanjutkan gaya hidup konsumtif mereka. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan sebuah indikasi keruntuhan moral.
Kampus seharusnya menjadi ruang transformasi intelektual, di mana mahasiswi dibentuk menjadi pemikir kritis, inovator, dan agen perubahan. Namun, realitasnya justru berbanding terbalik. Mereka lebih sibuk dengan ritual menghabiskan uang di kafe-kafe mewah, mengoleksi barang-barang bermerek, dan membangun citra sosial.
Paradoks terjadi ketika mahasiswi yang notabene berasal dari keluarga ekonomi menengah justru menciptakan ilusi kemewahan. Setiap rupiah yang seharusnya digunakan untuk pengembangan diri dan intelektualitas, dihabiskan untuk membangun mimpi semu tentang status sosial.
Kecanduan akan validasi eksternal ini membuat mereka kehilangan esensi sejati pendidikan tinggi. Mereka lupa bahwa kampus bukanlah panggung pertunjukan, melainkan laboratorium transformasi pemikiran. Gelar akademis bukan sekadar aksesori untuk pencitraan, melainkan tanggung jawab intelektual.
Kritik ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan seluruh mahasiswi, melainkan sebagai refleksi kolektif. Saatnya kita mendorong kembali nilai-nilai otentisitas, kejujuran intelektual, dan kesederhanaan dalam menjalani proses akademik.
Hedonisme adalah racun yang perlahan menggerogoti semangat intelektualitas. Dan kita, sebagai bagian dari ekosistem pendidikan, memiliki tanggung jawab moral untuk menghentikannya. Saatnya menulis ulang narasi tentang mahasiswi: bukan sekadar pencari citra, tetapi pembawa cahaya peradaban.
Penulis : Imam Alfafan Yakub
Rujukan :
Dewi, Nurita dan Rusdarti, St. Sunarto. 2017. Pengaruh Lingkungan Keluarga, Teman Sebaya, Pengendalian Diri dan Literasi Keuangan Terhadap Perilaku Konsumtif Mahasiswa. JEE 6 (1). Page 29 – 35.
Oktafikasari, Eva dan Amir Mahmud. (2017). Konformitas Hedonis dan Literasi Ekonomi terhadap Perilaku Konsumtif Melalui Gaya Hidup Konsumtif. Universitas Negeri Semarang.
Samuri, V. I. F., Soegoto, A. S., & Woran, D. (2018). Studi Deskriptif Motivasi Belanja Hedonis Pada Konsumen Toko Online Shopee Descriptive Study of Hedonic Shopping Motivation in Shopee Online Shop. Jurnal Emba, 6(4), 2238–2247
Yushita, A. N. (2017). Pentingnya Literasi Keuangan Bagi Pengelolaan Keuangan Pribadi. Jurnal Nominal, VI(1), 11-26.