Di tengah kompleksitas kehidupan bernegara yang semakin dinamis, keberadaan kebijakan publik yang beretika menjadi salah satu pilar fundamental dalam membangun tatanan masyarakat yang harmonis. Ketika kita merenungkan eksistensi manusia di muka bumi ini, salah satu hal yang paling menakjubkan adalah bagaimana Sang Pencipta telah menghadirkan kita dalam bentuk yang beraneka ragam. Seperti mozaik indah yang tersusun dari kepingan-kepingan berbeda warna, demikianlah keragaman manusia tercipta dengan segala perbedaan yang melekat pada diri mereka.
Keberagaman yang kita miliki, mulai dari agama yang diyakini, warna kulit yang membungkus raga, suku yang menjadi identitas, hingga bahasa yang menjadi medium komunikasi, bukanlah sebuah kebetulan atau kesalahan dalam penciptaan. Ini merupakan sebuah design divine yang telah digariskan dengan penuh kebijaksanaan, menciptakan harmoni kehidupan yang lebih dinamis dan penuh warna, layaknya sebuah orkestra yang indah dimana setiap instrumen memainkan nada yang berbeda namun menghasilkan simfoni yang memukau.
Dalam perspektif yang lebih luas, kebhinekaan merupakan sunatullah – sebuah ketetapan Ilahi yang tidak bisa ditampik keberadaannya. Ini adalah hukum alam yang telah ada sejak manusia pertama diciptakan dan akan terus ada hingga akhir zaman. Mencoba menolak atau menentang kebhinekaan sama halnya dengan menentang hukum alam itu sendiri, sesuatu yang tidak hanya sia-sia tetapi juga dapat membawa dampak destruktif bagi kehidupan bermasyarakat.
Baca pula Budaya 3S (Salam, Senyum, Sapa) Diganti 3C (Congkak, Caci, Cerca): Potret Buram Generasi Digital
Sebagaimana dikemukakan oleh Haryatmoko (2015), etika publik tidaklah cukup apabila hanya diubah menjadi suatu kode etika atau aturan berperilaku. Pemikiran ini menegaskan bahwa dalam konteks bernegara, pemahaman akan kebhinekaan menjadi semakin krusial, terutama bagi para pemangku kebijakan yang memiliki tanggung jawab besar dalam mengatur dan mengelola kehidupan bermasyarakat.
Para pembuat kebijakan memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil memberikan manfaat yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat. Tidak boleh ada kebijakan yang hanya menguntungkan golongan tertentu sementara merugikan atau mengabaikan golongan lainnya. Ini bukan hanya masalah etika kepemimpinan, tetapi juga merupakan prinsip fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
J.S. Bowman (2010), memperkuat argumentasi ini dengan mengemukakan bahwa nilai selalu dilihat sebagai sesuatu yang dianggap berharga dalam hidup. Dalam konteks kebijakan publik, nilai-nilai ini harus tercermin dalam setiap keputusan yang diambil, memastikan bahwa setiap kebijakan yang dirumuskan dan diimplementasikan mencerminkan semangat keadilan dan kesetaraan bagi seluruh elemen masyarakat.
Keith Davis (2014), memberikan perspektif menarik tentang tipe kepemimpinan yang dapat mempengaruhi bagaimana kebijakan publik diimplementasikan. Ia membedakan tiga tipe pokok kepemimpinan: authority leadership, participative leaders, dan the free rein leaders. Masing-masing tipe ini memiliki karakteristik dan implikasi yang berbeda dalam pengelolaan kebijakan publik.
Authority leadership, meskipun memberikan motivasi yang kuat dan mempercepat pengambilan keputusan, memiliki kelemahan berupa kemungkinan implikasi moral yang rendah dan potensi terjadinya konflik. Ini menjadi peringatan penting bahwa kecepatan pengambilan keputusan tidak boleh mengorbankan aspek moral dan keadilan dalam kebijakan publik.
Participative leaders, di sisi lain, berusaha mengerahkan seluruh potensi yang dimiliki dengan menggali pikiran-pikiran kreatif dari bawahan. Pendekatan ini membutuhkan mutu kepemimpinan yang lebih tinggi untuk meraih kesuksesan, namun berpotensi menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan.
The free rein leaders dipandang sebagai kebalikan dari authority leadership, dimana tipe ini dianggap paling baik dan paling memberikan harapan dalam rangka pencapaian tujuan dan menjamin ketenangan kerja dari bawahan. Gaya kepemimpinan ini dapat mendukung terciptanya kebijakan publik yang lebih demokratis dan partisipatif.
Dalam implementasinya, prinsip keadilan dan kesetaraan harus tercermin dalam berbagai aspek kebijakan publik, mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga pelayanan publik. Setiap warga negara, terlepas dari latar belakang mereka, harus mendapatkan akses dan kesempatan yang sama untuk menikmati fasilitas dan layanan publik yang disediakan oleh pemerintah.
Prinsip Kebijakan Menurut Paulus, dkk.
Paulus, Willy Tri, dan Dody (2012), menekankan bahwa pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah pemerintahan. Karenanya, kemampuan dan pemahaman yang memadai dari pembuat kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting bagi terwujudnya kebijakan publik yang cepat, tepat, dan memadai.
Kebijakan yang dikeluarkan juga harus mampu menciptakan ruang dialog dan interaksi yang konstruktif antar berbagai elemen masyarakat. Ini penting untuk membangun pemahaman bersama dan menumbuhkan rasa saling menghargai di antara kelompok-kelompok yang berbeda, sehingga kebhinekaan tidak hanya menjadi slogan kosong tetapi benar-benar terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Para pemimpin dan pembuat kebijakan perlu memahami bahwa keberagaman bukan hanya tantangan yang harus dikelola, tetapi juga potensi besar yang bisa dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. Dengan pengelolaan yang tepat, perbedaan-perbedaan yang ada justru bisa menjadi sumber kekuatan dan kreativitas yang mendorong inovasi dan kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan yang adil dan inklusif juga berkontribusi pada pembentukan identitas nasional yang kuat. Ketika setiap warga negara merasa dihargai dan diperlakukan secara adil, mereka akan mengembangkan rasa memiliki dan kebanggaan terhadap bangsanya, yang pada gilirannya akan memperkuat persatuan dan kesatuan nasional.
Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, kemampuan untuk mengelola keberagaman melalui kebijakan yang adil dan inklusif menjadi semakin penting. Ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat untuk memastikan bahwa nilai-nilai kebhinekaan tetap terjaga dan terus berkembang sebagai kekuatan pemersatu bangsa.
Sejarah telah banyak memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana kebijakan yang diskriminatif dapat menimbulkan konflik dan perpecahan dalam masyarakat. Dari berbagai kasus yang pernah terjadi, kita bisa melihat bahwa ketidakadilan dalam pembuatan dan penerapan kebijakan seringkali menjadi pemicu utama terjadinya gejolak sosial yang berujung pada disintegrasi bangsa.
Penting bagi para pemangku kebijakan untuk selalu mengedepankan prinsip inklusivitas dalam setiap pengambilan keputusan. Mereka harus memastikan bahwa suara dan kepentingan seluruh elemen masyarakat terwakili dan terakomodasi dalam setiap kebijakan yang dihasilkan. Ini membutuhkan pendekatan yang holistik dan pertimbangan yang matang agar tidak ada pihak yang merasa termarjinalkan atau diabaikan.
Baca pula Hedonisme: Potret Mahasiswi Pencari Citra dan Haus Validasi
Sebagai makhluk sosial yang hidup dalam tatanan masyarakat modern, kita dituntut untuk memahami dan menerima realitas kebhinekaan ini dengan lapang dada. Penerimaan ini bukan sekadar sikap pasif, melainkan harus diwujudkan dalam bentuk tindakan aktif untuk saling menghargai, memahami, dan mendukung satu sama lain terlepas dari latar belakang yang berbeda-beda.
Dalam konteks agama dan moral, membuat kebijakan yang diskriminatif bahkan dikategorikan sebagai perbuatan yang diharamkan. Hal ini karena kebijakan yang tidak adil dan memihak dapat memicu perpecahan dalam masyarakat, menciptakan kesenjangan sosial, dan pada akhirnya mengancam stabilitas dan kesatuan bangsa yang telah dibangun dengan susah payah.
Kemampuan dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan juga harus diimbangi dengan pemahaman dari pembuat kebijakan publik terhadap kewenangan yang dimilikinya. Ini menjadi penting mengingat setiap kebijakan yang diambil akan memiliki dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat.
Kolthoff memberikan perspektif tambahan dengan memahami nilai sebagai suatu hal yang berharga atau pantas yang berupa prinsip atau standar perilaku yang mengandung kualitas. Pemahaman ini memperkuat pentingnya nilai-nilai etika dalam setiap tahap pembuatan dan implementasi kebijakan publik.
Etika publik seharusnya mulai dipertimbangkan sejak awal proses kebijakan publik sehingga fungsi pencegahan terhadap korupsi, konflik kepentingan, kolusi, atau bentuk pelanggaran-pelanggaran lain bisa dirasakan lebih efektif. Ini menegaskan bahwa etika bukan hanya sebagai “penjaga gawang” atau “pemadan kebakaran” yang baru diperhitungkan setelah terjadi masalah.
Sebagai penutup, penulis ingin mengatakan bahwa keberhasilan dalam mengelola kebhinekaan melalui kebijakan yang adil dan inklusif akan menentukan masa depan bangsa. Ketika setiap warga negara merasa menjadi bagian integral dari bangsa dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan menikmati hasil pembangunan, maka cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera akan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan.
Penulis : Imam Alfafan Yakub
Rujukan :
Bowman, J. S. (2010). Achieving Competencies in Public Services, The Professional Edge, Second Edition. Armonk N.Y.: M.E. Sharpe.
Davis, Keith dan Newstrom. (2014). Perilaku Dalam Organisasi, Edisi ketujuh. Jakarta : Penerbit Erlangga
Haryatmoko.. 2015. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas.
Paulus I, Willy Tri, Dody S. (2012). Peran Etika Politik Dalam Perumusan Kebijakan Publik, JISIP (Jurnal Ilmu Sosial dan Politik), Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang, Vol. 1, No. 2, Malang, 2012, hlm. 9.