Pilkada Dompu tahun 2024 tercatat sebagai salah satu perhelatan politik paling panas dalam sejarah daerah tersebut. Dua pasangan calon bersaing sengit, dengan pasangan nomor satu sebagai penantang dan pasangan nomor dua sebagai petahana. Dalam kurun waktu beberapa bulan, percakapan di media sosial dan interaksi langsung di masyarakat dipenuhi oleh isu-isu tidak ilmiah, ujaran kebencian, fitnah, dan pembunuhan karakter. Polarisasi begitu tajam hingga meretakkan hubungan antarwarga yang sebelumnya harmonis.
Puncak ketegangan terjadi pada 27 November 2024, hari pencoblosan. Sejak pagi hingga sore, masyarakat dari kedua kubu menunggu dengan penuh ketegangan hasil perhitungan cepat. Di malam hari, diumumkan bahwa pasangan nomor satu keluar sebagai pemenang, mengakhiri pertarungan sengit dengan kemenangan yang berpihak kepada penantang. Perayaan pun pecah di berbagai sudut kota, sementara pendukung pasangan nomor dua tertunduk lesu dalam keheningan.
Namun, kemenangan itu bukan tanpa konsekuensi. Euforia berlebihan merusak suasana kota. Konvoi kendaraan dengan knalpot bising membelah malam, perayaan terus berlangsung hingga keesokan harinya. Situasi semakin memanas ketika segelintir pendukung merusak patung kuda, simbol penting dengan nilai filosofis tinggi bagi masyarakat Dompu. Tindakan tersebut tidak hanya memalukan tetapi juga mencerminkan rendahnya kesadaran kolektif dan literasi sosial.
Meski waktu berlalu, ketegangan belum mereda. Media sosial masih dipenuhi narasi provokatif dan serangan dari kedua kubu. Namun, di sela-sela kekisruhan itu, mulai muncul suara-suara bijak yang menyerukan rekonsiliasi. Segelintir pihak yang memiliki kepekaan mendorong kedua pasangan calon untuk bertemu, berjabat tangan, dan membangun kembali fondasi persatuan yang telah runtuh akibat kontestasi politik.
Banjir dan Rekonsiliasi?
Sayangnya, seruan rekonsiliasi itu belum menemukan titik terang. Ego, kepentingan pribadi, dan intrik politik tampaknya masih menjadi penghalang besar. Sementara dendam terus berputar seperti bola panas, datanglah musibah lain yang mengguncang Dompu—banjir besar melanda banyak wilayah.
Banjir kali ini berbeda dari sebelumnya. Daerah yang biasanya aman dari banjir ikut terdampak. Rumah-rumah hanyut terbawa arus, warga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Kerugian materi dan non-materi membesar, sementara duka merata di setiap sudut kota.
Ironisnya, di tengah musibah ini, buzzer politik masih memainkan narasi provokatif. Salah seorang pendukung salah satu pasangan calon bahkan mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan pihak lawan. Sikap seperti ini sungguh tidak patut di tengah situasi krisis. Seharusnya, musibah ini menjadi momen bagi semua pihak untuk bersatu, mengesampingkan perbedaan, dan fokus pada upaya penyelamatan serta pemulihan.
Namun, di balik semua kekacauan ini, ada secercah harapan. Sejarah mencatat bahwa musibah sering kali menjadi pintu gerbang menuju perdamaian. Kisah perdamaian Aceh pasca-tsunami 2004 adalah bukti nyata. Pada saat Aceh dilanda bencana yang meluluhlantakkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melihat peluang untuk merajut perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Di tengah skeptisisme banyak pihak, SBY membuka ruang dialog dan mengizinkan bantuan internasional masuk dengan pengawasan ketat dari TNI. Langkah ini tidak hanya berhasil meredakan ketegangan tetapi juga membuka jalan bagi kesepakatan damai yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. Keberhasilan ini mengajarkan kita bahwa musibah, meskipun penuh penderitaan, bisa menjadi katalisator bagi perubahan positif.
Dompu saat ini berada di persimpangan jalan yang serupa. Banjir besar yang melanda bukan hanya ujian bagi ketahanan fisik masyarakat tetapi juga ujian bagi ketahanan sosial dan moral mereka. Jika para pemimpin lokal, tokoh agama, dan tokoh masyarakat mampu memanfaatkan momentum ini, bukan tidak mungkin rekonsiliasi dapat terwujud.
Musibah ini seharusnya menjadi pengingat bahwa manusia memiliki keterbatasan di hadapan kekuatan alam. Ketika bencana datang, semua sekat politik dan perbedaan pandangan menjadi tidak relevan. Yang tersisa hanyalah rasa kemanusiaan dan keinginan untuk saling membantu.
Momentum ini harus dimulai dengan langkah kecil namun bermakna. Kedua pasangan calon harus berani duduk bersama di hadapan publik, berjabat tangan, dan menunjukkan komitmen untuk bekerja sama membantu korban banjir. Tokoh agama dan pemimpin adat harus memainkan peran sebagai jembatan yang mempersatukan kedua belah pihak.
Baca pula Fenomena Konten Kreator Daerah: Kreatif atau Sekadar Mengejar Viral Murahan?
Di tingkat masyarakat, warga Dompu harus mulai meninggalkan narasi kebencian di media sosial. Alih-alih saling menyalahkan, energi dan sumber daya harus difokuskan pada upaya pemulihan. Musibah ini adalah panggilan untuk merangkul kembali nilai-nilai gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Pemerintah daerah juga harus bergerak cepat dalam menangani dampak banjir. Bantuan harus didistribusikan secara adil dan transparan, tanpa ada diskriminasi berdasarkan afiliasi politik. Hal ini akan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan.
Sebagaimana SBY mengambil risiko besar dalam memulai proses perdamaian di Aceh, para pemimpin di Dompu harus berani mengambil langkah serupa. Mereka harus berani keluar dari zona nyaman dan menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Musibah ini bisa menjadi titik balik bagi Dompu. Dari keterpurukan, bisa lahir semangat baru untuk membangun daerah yang lebih damai, lebih inklusif, dan lebih sejahtera. Seperti yang dikatakan oleh SBY, “Mengubah musibah menjadi peluang.” Itulah yang harus dilakukan oleh semua pihak di Dompu saat ini.
Dengan optimisme dan tekad yang kuat, rekonsiliasi bukanlah hal yang mustahil. Musibah ini bisa menjadi awal dari perjalanan panjang menuju perdamaian yang hakiki. Semua pihak hanya perlu satu hal: kemauan untuk bergerak bersama, meninggalkan dendam, dan memandang masa depan dengan penuh harapan. Bismillah, rekonsiliasi untuk Dompu yang lebih baik harus dimulai sekarang.
Penulis : Imam Alfafan Yakub