Puasa dan Covid-19, Memaksa Kita Menuju ke Arah Kebaikan

Prof Masud Said

Jakarta – Sebelum bulan puasa tiba, seakan akan kita ini hidup dalam goncangan psikologis (psychological shock). Ini akibat dari belum ditemukannya obat penawar atau penyembuh virus yang telah menjadi penyebab kematian dari ribuan pasien penyandang positif Covid-19 dan ribuan yang antre untuk mendapat perawatan rumah sakit.

Dua Bulan sebelum puasa, tamu tak diundang itu datang, membawa ketidakmenentuan (uncertainty), aleniasi sosial, kecemasan masal akibat dari terpaan pemberitaan yang masif. Akibat turunannya menyusul; melemahnya daya beli masyarakat, dipulangkannya pekerja dan karyawan, mandeknya sektor usaha informal, turunnya kekuatan keuangan negara, mandeknya sektor dan pariwisata, perhubungan, industri dan jasa.

Sampai pertengahan Mei bulan ke-lima setelah pandemi muncul, semua masih teka teki; teknologi secara paripurna, tokoh tokoh canggih berkumpul berlomba, kekuatan negara adidaya Amerika dan Eropa jadi rapuh, laboratorium kesehatan dan ahli ahlipun kalang kabut dibuatnya.

Untung Ramadhan tiba, inilah bulan yang disebut juga syahrut – tarbiyah, bulan di mana kita secara sendiri sendiri, bersama sama, sekeluarga, selingkungan, sebangsa untuk belajar dan berubah. Puasa adalah syahrut taubah bulan momentum untuk taubat, inilah pintu taubat sosial dan spiritual dengan makna yang sesungguh sungguhnya

Pengingat Allah SWT.

Kalau kita obyektif dan mau introspeksi, jangan jangan ada yang salah, termasuk yang oleh Rasulullah SAW disebut sebagai orang yang yuhibbuunaddunya wayansaunal akhiroh, terlalu mencintai dunia dan lupa akan kehidupan akhirat. Jangan jangan kita ini kurang beres, termasuk hamba yang lebih cinta harta dan materi, yuhibbunal maala, wa yanshaunal hisab, sehingga melupakan hisab.

Mungkin Malaikat melaporkan kepada Tuhan bahwa kita ini, naudzubillahi mindaalik, termasuk yang yubibbuunal kholqoh wayansaunal khooliqoh, diam diam dan terang terangan, lebih mencintai dan memiliki perhatian kepada makhluk Allah dan lupa kepada penciptanya.

Bisa saja kita termasuk ummat yang yuhibbunaddzunubah wayansaunattaubah, lebih menyukai perbuatan dosa namun lupa bertaubat kita kepada Allah SWT.Jangan jangan dalam catatan Malaikat banyak dari kita termasuk yuhibbunal kusuroh wayansaunal fahfaroh, lebih menyukai gedung yang megah, rumah mewah tapi lupa terhadap kuburan dan hari akhir di mana kita semua akan hidup lebih kekal atasnya.

Untung Ramadhan segera tiba.

Sebagai kaum beriman kita disarankan untuk tetap waspada tanpa menghilangkan rasa syukur. Bahkan dalam cobaan kita diminta untuk optimis. Kaum beriman adalah kaum yang memiliki keyakinan akan keberhasilan dan sabar dalam situasi yang sulit.

Tak ada Nabi dan Rasul yang hidup tanpa beban yang berat. Namun semua Nabi dan Rasul adalah orang orang yang tak takluk dengan halangan, ancaman, kesulitan dan situasi yang memaksa maksa dan menghimpit himpit.

Dalam bulan penuh hikmah, kita harus penuh harapan. Sebagaimana intisari buku karya Aidh al Qarnie yang berjudul Laa Tahzan, jangan bersedih. Buku yang berbahasa Arab tersebut mengajak kita untuk optimis, Al Qarnie mengutip doa Nabi Musa AS, yaa Allah yaa Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku sebagaimana dalam Qs Thaha ayat 25-26. Rabbisrohli shadri wayassirli amri.

Semua sedang diuji dengan ujian yang menggelisahkan. Sistem sosial yang terbangun ratusan tahun khususnya sistem sosial berkerumun seakan runtuh. Apakah kita boleh putus asa?. Jawab walaa taiazuu, mirrauhillahLaa tahzan, innallaha maana, ini adalah jalan Allah untuk merubah.

Secara spiritual jangan jangan kemarin itu kita lalai sebagai individu, keliru sebagai anggota keluarga, belum amanah sebagai abdillah dan wakil Allah di bumi, masih defisit sebagai hamba. Inilah masanya Allah SWT memaksa manusia di abad ini sedikit undur dari gejala kebodohan dan kecongkakan yang dalam Al Qur’an dikenal sebagai dlolaalan baiida

Turning Directions ke Arah Kebaikan

Laksana cerita ummat ummat terdahulu yang lupa, kita seperti dipaksa berbelok arah ke arah kebaikan. Puasa dan Covid-19 adalah cambuk sekaligus tali pengarah. Sesungguhnya kalau pandai berhitung, kita ini defisit, merugi.

Kita tak henti hentinya diberi rizky, karunia ilmu pengetahuan, rizki kesehatan, kesehataan tangan, kesehatan kaki, kesehatan mata, kesehatan indera perasa, indera pendengaran, karunia rizky, karunia kemerdekaan, karunia keutuhan keluarga, karunia udara yang bebas lebih banyak nilainya dari kesulitan PSBB atau lainnya.

Oleh sebab itu kita harus ber muhasabah, menghitung hitung, kalau perlu mengakui dan taubat kepada Allah SWT. Hanya Allah yang tahu caranya. Ini adalah ayat kauniyahnya. Mungkin atas nama kebaikan, kita pantas sedikit disiksa karena sikap teledor. Kita memang harus berubah atau diubah keadaan yang memaksa. Inilah cara Tuhan mengingatkan kita.

Menurut ahli sufi, masih banyak lautan kesyukuran dan kenikmatan yang Allah berikan kepada kita. Jangan putus asa, ayo bangkit, mari menengok kenikmatan ini dengan jalan berbagi kebaikan, alhamdulillah kita semua berangsung bangkit dengan berkahnya berpuasa. Tidak ada yang diciptaka Tuhan dengan sia sia, semua ada hikmahnya.

Puasa dan Covid-19 adalah rahasia, alat Allah SWT. Jalan taubat atau berhenti melakukan kesalahan itu dengan cara beristigfar dan banyak berdzikir, melakukan shalat taubat, dan berjanji kepada diri sendiri untuk sekuat tenaga untuk memperbaiki kesalahan kesalahan baik kepada Allah SWT.

Rasanya kita perlu memohon ampun atas kesalahan dengan orang lain, kepada orang tua kita yang membesarkan kita dengan susah payah, atau kepada penyedia kemerdekaan bangsa ini namun kita lupa merawatnya.

Waallahu alam bi showab.

M. Mas’ud Said
Direktur Pascasarjana Unisma Malang, Ketua ISNU Jawa Timur,

* Artikel ini sudah pernah diterbitkan di pembaca detikcom, kompasberita