Ini tentang Si Paling “Disa Rima”

kekuasaan yang paling, di desa rima

Suasana sembarawut menjelang Pilkada, sebuah pemandangan yang meresap ke dalam jiwa kota ini. Sudut-sudut jalan yang seharusnya menjadi saksi keindahan alamnya, kini dipenuhi oleh perdebatan kotor yang hanya membicarakan siapa yang memiliki uang paling banyak dan berani membayar. Tidak lagi terdengar suara tawa yang riang dari anak-anak bermain di taman, melainkan gemuruh nafsu kekuasaan yang memenuhi ruang-ruang publik.

Pasar tradisional yang dulu ramai dengan kegiatan jual-beli sekarang menjadi ajang perdebatan politik yang tidak bermutu. Orang-orang berdesakan di antara lapak-lapak dagangan, tetapi pikiran mereka hanya terisi oleh gosip politik dan intrik kekuasaan. Sudah lama terlupakan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong, yang kini ditinggalkan demi ambisi kekuasaan yang tidak bertuan.

Rumah-rumah warga pun tak luput dari virus politik yang menggerogoti. Di setiap sudut perkampungan, terdengarlah suara-suara keras yang membicarakan siapa yang seharusnya mereka pilih. Namun, ironisnya, pembicaraan itu tidak lagi berkutat pada visi dan misi para kandidat, melainkan pada betapa besar uang yang ditawarkan oleh mereka dan seberapa besar dampaknya bagi kehidupan pribadi.

Media massa, yang seharusnya menjadi penjernih informasi, kini ikut terjerat dalam pusaran kegelapan politik. Headline utama di surat kabar dan siaran berita televisi hanya membahas skandal dan tawaran suap dari para calon pemimpin. Sudah tidak ada lagi ruang bagi pemikiran kritis atau wacana pembangunan yang sejati.

Baca pula Ketika Hoax Bertahta di Singgasana Desa: Sebuah Refleksi Kritis

Bahkan dunia maya, yang diharapkan menjadi sumber inspirasi dan wacana positif, kini penuh dengan serbuan propaganda dan hoaks politik. Medsos menjadi arena pertempuran di mana kebenaran sering kali menjadi korban, digantikan oleh narasi-narasi yang dibentuk oleh kepentingan tertentu.

Masyarakat telah terperangkap dalam permainan yang tidak ada habisnya, tanpa menyadari bahwa mereka menjadi boneka dalam tangan para politisi yang rakus akan kekuasaan. Seakan menjadi budaya baru, politik uang dan suap telah mengakar begitu dalam sehingga sulit untuk diberantas.

Namun, di tengah semua kekacauan itu, ada juga suara-suara kecil yang berusaha menentang arus. Ada gerakan-gerakan sosial yang mencoba membangunkan kesadaran kolektif, meskipun suara mereka seringkali tenggelam dalam keriuhan politik yang kian menggila.

Dan di antara semua ini, terdapat kerinduan yang dalam, kerinduan akan masa-masa ketika politik adalah tentang melayani rakyat, bukan merampas kekuasaan demi kepentingan pribadi. Kerinduan akan suasana yang adil dan beradab, di mana setiap suara memiliki nilai yang sama, tidak bergantung pada seberapa besar uang yang bisa mereka bayar.

Tetapi sayang, dalam cerita ini tidak ada solusi yang jelas. Karena dalam kenyataannya, politik telah menjadi lahan subur bagi kejahatan dan kecurangan, di mana suara-suara terhormat sering kali terdiam oleh dinding-dinding ketidakadilan. Dan mungkin, hanya dengan menyadari kebobrokan sistem yang ada, kita dapat mulai membangun kembali fondasi politik yang sesungguhnya, meskipun jalan itu tampak begitu sulit dan jauh.

Penulis: Imam Alfafan Yakub