Dalam dunia politik yang semakin terintegrasi dengan media sosial, kita sering kali disuguhkan dengan gambaran-gambaran yang memikat dari “tim sukses” yang seolah-olah mampu mengguncang panggung politik hanya dengan kepiawaian mereka dalam berbicara di dunia maya. Namun, di balik siluet-siluet yang memikat tersebut, tersembunyi kisah-kisah yang jauh dari romantisme, kisah tentang tim sukses yang tidak memiliki latar belakang ilmu politik yang memadai, namun berani bersuara dengan keberanian yang mungkin terlalu berlebihan.
Dalam setiap era politik, kita menyaksikan peran media sosial yang semakin dominan dalam merangkul massa. Namun, masalah timbul ketika keahlian berkomunikasi di media sosial dianggap sebagai pengganti pemahaman mendalam akan politik. Tim sukses yang terjebak dalam lingkaran ini seringkali menjadi perwakilan dari fenomena ini.
Mereka menampilkan diri mereka sebagai “ahli politik” di media sosial, mengunggah status-status dan komentar-komentar yang terdengar berbobot, tanpa menyadari kedangkalan pemahaman mereka tentang politik yang sebenarnya. Mungkin, itu hanyalah topeng yang mereka kenakan untuk menutupi ketidakpahaman mereka akan esensi politik yang sebenarnya.
Baca pula Ini tentang Si Paling “Disa Rima”
Ironisnya, kenyataannya adalah bahwa kehadiran mereka di media sosial justru lebih menonjolkan kekosongan dalam pemahaman mereka. Bukanlah sebuah perdebatan yang mencerahkan, melainkan sekadar gurauan tanpa substansi, atau bahkan penyebaran hoaks dan informasi palsu demi meraih perhatian.
Kita tidak bisa mengabaikan bahwa media sosial memberikan platform yang sangat luas bagi setiap individu untuk bersuara. Namun, menjadi berbahaya ketika suara-suara ini didominasi oleh mereka yang sebenarnya hanya mengikuti tren tanpa pemahaman yang dalam. Ketika suara-suara ini menjadi nyaring, kita harus bertanya pada diri sendiri, di mana letak substansi dan kebijaksanaan dalam politik yang seharusnya?
Dibalik sorotan media sosial, terkadang terdapat ketidakberdayaan yang sebenarnya dari tim sukses ini. Mereka mungkin hanya menjadi “penggembira” yang dipertontonkan oleh politisi sesungguhnya, digunakan untuk menyebarluaskan narasi-narasi yang tidak bertanggung jawab tanpa memiliki kemampuan untuk mempertanyakan atau menganalisis dengan kritis.
Saat kita berbicara tentang politik, seharusnya terdapat tanggung jawab yang besar dalam membentuk opini publik. Namun, ketika tim sukses yang tidak memiliki pemahaman politik yang cukup malah menancapkan panji-panji kebenaran mereka di media sosial, tanggung jawab itu menjadi semakin terdistorsi. Mereka berperan sebagai penjaga api, namun tanpa kecakapan untuk memadamkan kobaran yang sebenarnya.
Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya individu-individu ini. Mungkin ada faktor-faktor lain yang memengaruhi keberadaan mereka di posisi tersebut, mungkin kebutuhan akan eksistensi atau sekadar dorongan dari politisi sesungguhnya. Namun, kita tidak bisa mengabaikan dampak negatif yang dihasilkan dari kehadiran mereka yang tidak memiliki ilmu politik yang memadai namun dengan percaya diri menyerukan kebenaran di media sosial.
Sebagai masyarakat yang semakin terkoneksi, sudah menjadi tugas kita untuk menyaring informasi dan pendapat yang muncul di media sosial dengan bijaksana. Kita tidak boleh terperangkap dalam gemerlapnya tampilan yang kosong dari tim sukses tanpa substansi politik. Kita harus lebih kritis dalam menggali kebenaran di balik suara-suara yang terdengar menggugah di media sosial, dan menyadari bahwa keberanian berbicara tidak selalu setara dengan pemahaman yang mendalam akan politik.
Penulis: Imam Alfafan Yakub