Sang Mimpi Demokrasi: Menilik Keterbatasan dan Panggilan Hasrat Manusia

Di balik tirai harapan, kita menyaksikan pertunjukan besar yang disebut demokrasi. Sebuah panggung yang terang benderang dengan janji-janji kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Namun, dalam ketenangan malam, saat sorotan redup, kita menyadari bahwa panggung itu hanya setengah jadi. Kita benar-benar belum siap berdemokrasi. Demokrasi bukan sekadar tentang kalah dan menang; itu lebih dari itu. Itu tentang memiliki keinginan yang mendalam untuk menjadi manusia-manusia demokratis.

Pertama-tama, kita harus mengakui kebingungan kita. Demokrasi bukanlah sesuatu yang ditemukan dalam satu malam atau dibangun dalam sekejap. Ia adalah sebuah proses panjang yang memerlukan kesabaran, pengetahuan, dan dedikasi. Namun, ironisnya, banyak dari kita yang kebingungan akan esensi dan praktik demokrasi.

Perdebatan tak berujung, politik uang, dan rekayasa opini memperumit lanskap demokrasi. Di tengah-tengahnya, kita kehilangan jalan menuju esensi yang sejati. Sebagian besar dari kita tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang sistem, hak, dan tanggung jawab kita sebagai warga negara.

Lebih lanjut lagi, demokrasi membutuhkan partisipasi yang aktif. Namun, begitu banyak dari kita yang memilih untuk tetap diam. Kita mungkin memilih untuk menyerahkan kekuasaan kepada mereka yang berbicara keras atau yang memiliki akses ke platform yang lebih besar. Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan yang merusak esensi demokrasi itu sendiri.

Selain itu, budaya individualisme yang merajalela menghambat kemampuan kita untuk berdemokrasi. Kita lebih cenderung memperjuangkan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama. Solidaritas dan empati sering kali tertindas oleh ambisi dan egoisme.

Pertanyaannya adalah, apakah kita benar-benar siap untuk menghadapi kompleksitas demokrasi? Apakah kita memiliki kemauan untuk memperjuangkan nilai-nilai demokratis bahkan ketika itu menyulitkan? Ataukah kita hanya tertarik pada kesenangan sementara yang dibawa oleh pesta politik?

Mungkin yang paling memilukan adalah bahwa kita seringkali gagal untuk memperlakukan satu sama lain dengan hormat dan penghargaan. Demokrasi membutuhkan dialog yang bermakna dan kritis. Namun, terlalu sering, kita terjerat dalam perang kata-kata yang tidak konstruktif, meninggalkan ruang bagi kebencian dan polarisasi.

Baca pula Melodi Terdiam dari Kegelapan: Kisah Tim Sukses Tanpa Ilmu Politik yang Terlalu Merdu di Media Sosial

Sungguh tragis jika kita menemukan diri kita terperangkap dalam permainan politik yang tanpa henti, tanpa pernah benar-benar mencapai makna sejati dari demokrasi. Kita telah terpikat oleh drama dan ketegangan, tanpa pernah benar-benar menyentuh esensi yang damai dan menyatukan.

Mungkin memang benar bahwa kita belum sepenuhnya siap untuk berdemokrasi. Tapi ini bukanlah alasan untuk menyerah. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk mengasah hasrat kita, untuk menelusuri jalan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri dan masyarakat kita.

Jika kita ingin mencapai impian demokrasi yang sejati, kita harus siap untuk berjuang. Kita harus bersedia untuk menantang status quo, untuk mendengarkan dengan hati yang terbuka, dan untuk berbagi visi yang lebih besar tentang masa depan kita bersama.

Demokrasi bukanlah tujuan akhir, tetapi sebuah perjalanan yang tak pernah berakhir. Kita mungkin belum siap sepenuhnya, tetapi dengan keberanian, kejujuran, dan komitmen yang teguh, kita bisa mendekati pemahaman yang lebih dalam tentang apa artinya menjadi manusia-manusia demokratis. Itu adalah impian yang layak diperjuangkan, sekaligus panggilan yang menakjubkan.

Penulis: Imam Alfafan Yakub