Ketika Hoax Bertahta di Singgasana Desa: Sebuah Refleksi Kritis

Di balik gemerlapnya era digital, terselip duri dalam daging yang menggerogoti fondasi masyarakat, terutama di wilayah perkampungan. Duri itu bernama hoax, informasi sesat yang merajalela bak raja tanpa tanding, menjerumuskan masyarakat dalam lautan kebingungan dan ketakutan.

Ironisnya, masyarakat perkampungan, yang sering digambarkan sebagai komunitas tradisional dengan nilai-nilai kekeluargaan yang erat, kini menjadi sasaran empuk para penyebar hoax. Ketidakmampuan mereka dalam mengakses informasi yang valid dan literasi digital yang rendah menjadikan mereka mangsa empuk berita bohong.

Hoax bagaikan virus yang menular dengan cepat melalui jaringan komunikasi desa, seperti grup WhatsApp dan Facebook. Tanpa filter dan verifikasi yang memadai, informasi yang beredar di sana bagaikan pisau bermata dua: dapat membawa manfaat, namun tak jarang pula berujung pada perpecahan dan keresahan.

Dampak hoax di perkampungan tak sepele. Berita bohong tentang penculikan anak, isu SARA, hingga kabar menyesatkan terkait bencana alam dapat memicu kepanikan massal, bahkan berujung pada tindakan anarkis. Hoax juga merongrong kepercayaan antar warga, menciptakan suasana penuh kecurigaan dan paranoia.

Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab atas situasi ini? Pemerintah, dengan segala keterbatasannya, tak dapat diandalkan sepenuhnya untuk menangkal hoax. Perlu ada upaya kolektif dari berbagai pihak, mulai dari akademisi, aktivis, hingga masyarakat desa itu sendiri.

Pendidikan literasi digital membantu masyarakat untuk mengembangkan kemampuan kritis dalam menganalisis informasi yang mereka temui di internet. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana informasi diproduksi, disebarluaskan, dan dimanipulasi secara online, individu dapat mempertimbangkan informasi dengan lebih hati-hati. Mereka dapat belajar untuk mengidentifikasi tanda-tanda red flag dari informasi yang tidak terpercaya atau palsu, seperti sumber yang tidak jelas, narasi yang bias, atau kurangnya bukti yang mendukung. Dengan meningkatnya kemampuan ini, masyarakat akan menjadi lebih waspada terhadap hoax dan lebih cenderung untuk mengevaluasi kebenaran dari informasi sebelum mempercayainya atau menyebarkannya.

Pendidikan literasi digital juga membantu masyarakat untuk membedakan antara fakta dan opini dalam informasi yang mereka temui online. Hal ini penting karena seringkali hoax disajikan dengan membingungkan antara keduanya. Dengan memahami perbedaan antara fakta yang didukung oleh data dan opini yang merupakan pendapat subjektif, individu akan lebih mampu untuk menilai keabsahan suatu informasi. Mereka akan belajar untuk tidak hanya menerima informasi secara mentah-mentah, tetapi juga untuk mencari bukti yang mendukung klaim yang disajikan dan mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda. Dengan meningkatnya kemampuan untuk membedakan antara fakta dan opini, masyarakat akan menjadi lebih terhindar dari terjebak dalam penyebaran hoax.

Pemberdayaan komunitas melalui pelatihan dan edukasi dapat menjadi solusi efektif. Salah satu keuntungan utama dari pemberdayaan komunitas adalah keterlibatan langsung mereka dalam masalah yang ada di lingkungan mereka. Dengan memberikan pelatihan dan edukasi kepada kelompok-kelompok seperti PKK, Karang Taruna, dan kelompok tani, kita menggerakkan sumber daya yang sudah ada di masyarakat untuk mengatasi permasalahan. Mereka memiliki pemahaman mendalam tentang dinamika lokal, kebutuhan, dan tantangan yang dihadapi masyarakat mereka. Sebagai agen edukasi, mereka bisa menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pelatihan tersebut untuk memerangi penyebaran hoax dengan cara-cara yang paling efektif dan sesuai dengan konteks lokal mereka.

Kelompok-kelompok seperti PKK, Karang Taruna, dan kelompok tani sering memiliki pengaruh yang signifikan dalam masyarakat tempat mereka berada. Mereka sering menjadi sumber informasi dan panduan bagi warga setempat. Dengan memberdayakan mereka sebagai agen edukasi, kita bisa memanfaatkan pengaruh dan kepercayaan yang mereka miliki untuk menyebarluaskan informasi yang akurat dan memerangi penyebaran hoax. Ketika informasi datang dari sesama anggota komunitas yang dikenal dan dipercaya, lebih mungkin diterima dan dipercayai oleh masyarakat daripada ketika datang dari sumber eksternal yang mungkin dianggap tidak akrab atau tidak dapat dipercaya.

Pendekatan yang lebih personal dan humanis juga diperlukan. Tokoh agama, tokoh masyarakat, dan influencer lokal dapat berperan sebagai panutan dalam menyebarkan informasi yang valid dan terpercaya.

Ketika informasi disampaikan oleh tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, atau influencer lokal yang dihormati dan dipercaya oleh masyarakat, pesan tersebut lebih cenderung diterima dengan baik dan dipercayai. Orang-orang sering lebih mudah menerima informasi dari seseorang yang mereka anggap memiliki otoritas moral atau intelektual dalam masyarakat. Keterlibatan mereka membantu membangun kredibilitas informasi yang disampaikan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadapnya.

Ketika informasi disampaikan melalui pendekatan yang personal dan humanis, seperti melalui cerita, pengalaman pribadi, atau konteks lokal, pesan tersebut lebih mudah dipahami dan diterima oleh audiens. Tokoh-tokoh lokal biasanya memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Dengan demikian, mereka dapat mengemas informasi dalam konteks yang relevan dan memberikan contoh konkret tentang bagaimana informasi tersebut dapat bermanfaat atau relevan dalam kehidupan sehari-hari. Ini membuat informasi lebih mudah dihubungkan dan dipahami oleh masyarakat, sehingga meningkatkan kemungkinan penerimaan dan penggunaannya.

Memerangi hoax di perkampungan bukan perkara mudah. Namun, dengan tekad dan kerja sama dari berbagai pihak, bukan mustahil untuk menyingkirkan raja hoax dari singgasananya dan membangun kembali kepercayaan dan persatuan di tengah masyarakat.

Penulis: Imam Alfafan Yakub