Cawapres NU Penentu Pemilu

prof masud said berikan penjelasan mengenai reformasi birokrasi

Pemilu masih akan dihelat tahun depan, namun mesin politik sudah mulai dipanasi. Partai politik sudah mendeklarasikan calon presiden (capres), namun belum ada satupun yang menentukan calon wakil presiden (cawapres). Berikut respons dari Prof H M Mas’ud Said, Ketua PW ISNU Jawa Timur.

Majalah AULA Edisi 06 SNH XLV Juni 2023

Apakah penentuan cawapres punya pengaruh besar terhadap perolehan suara?

Pemilihan sosok cawapres pada pemilu 2024 yang akan datang berperan signifikan untuk meningkatkan peluang menang. Cawapres dinilai dapat mempeRlebar dan memperluas dukungan dengan pasangan yang lain. Karena itu, setidaknya terdapat tiga faktor yang harus menjadi bakal pertimbangan partai politik dalam memilih sosok cawapres.

Apa tiga faktor itu?

Pertama, dari segi elektabilitas. Sosok cawapres terpilih diharuskan dapat melengkapi basis massa atau ideologi masing-masing capres. Kedua, penting bagi cawapres untuk memiliki kapasitas dari segi kemampuan-pengalaman yang mumpuni. Entah sebagai seorang solidarity makers atau administrator pemerintahan. Ketiga, memiliki logistik atau pembiayaan. Menjadi sebuah keniscayaan seorang cawapres juga diharapkan bisa membantu ongkos politik selama pemilihan berlangsung. Menimbang biaya yang dibutuhkan sangat besar.

Dengan tiga variabel itu, cawapres bisa bergerak optimal menjadi ‘kartu hidup’ bagi capres yang saat ini bersaing. Karena memiliki modal lengkap untuk bertarung dalam segala situasi.

Baca pula Kepemimpinan Pancasila dan Kearifan Lokal

Bukankah posisi cawapres tidak strategis, bagaimana mungkin dapat menentukan kemenangan capres?

Dalam teori pemilu kemenangan ditentukan bersama oleh figur dan kekuatan capres maupun cawapresnya. Karena meskipun survei publik capres bagus suaranya terbanyak, kalau cawapresnya tidak punya sumbangan suara, ya akan tumbang. Justru akan kalah dengan capres dengan posisi survei ranking dua tapi cawapresnya kuat.

Seorang ahli analisis politik memprediksi jika salah pilih cawapres maka akan repot, sulit meraih kemenangan. Ini teori lima jari yang saya kembangkan. Jadi kalau ada capres tingginya seperti jari tengah, kalau dia punya cawapres dengan angka suara seperti jari kelingking, maka akan kalah dengan capres yang surveinya seperti jari telunjuk namun punya cawapres yang angka suaranya seperti jari manis. Cobalah hitung dengan menata tingginya lima jari- jari kita.

Posisi wakil presiden dalam sistem presidensial memang menjadi rebutan, karena memiliki peran strategis dalam pemerintahan. Di Pemilu 2024 ini, rebutannya memang luar biasa, meski fungsinya biasa-biasa saja. Tetapi posisi wakil presiden itu strategis secara pemerintahan. Dalam sistem presidensial, baik presiden maupun wakil presiden merupakan institusi tunggal dengan nama lembaganya, Lembaga Kepresidenan.

Tapi kenyataannya wakil presiden seakan hanya ban serep?

Betul. Wakil presiden itu ban serep sebagai pengganti presiden ketika presiden berhalangan dalam kondisi tertentu, itu dalam fungsi sistem ketatanegaraan. Namanya ban serep seperti kendaraan saja, akan difungsikan kalau ban kita bermasalah, baru ban itu diganti untuk menjalankan fungsi presiden.

Namun selain itu mewakili presiden dan menjalankan tugas kepresidenan, ia juga membantu tugas presiden yang didelegasikan dalam beberapa bidang atau tugas. Seperti kita bisa ambil contoh peran tugas wakil presiden di masa Presiden Soekarno yang merupakan Dwi Tunggal dengan Bung Hatta. Atau wakil presiden di masa Pak Harto (Soeharto), Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Ibu Mega (Megawati Soekarnoputri), Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan Pak Jokowi (Jokowi). Semua ada perbedaannya.

Bagaimana dengan cawapres di pusaran NU?

Dalam konteks pilpres 2024 dan bahkan pilpres sebelumnya memang sangat menen- tukan. Bahkan boleh menjadi penentu. Alasannya antara lain umat NU mayoritas, dan tokoh NU atau bahkan pengurus struk- tural sangat banyak ingin mendukung kadernya. Sebagian menghendaki ada tokoh NU yang menjadi cawapres bahkan capres dari ketokohannya, pengalaman birokrasi atau legislatif, atau pengalaman menjadi menteri, menjadi gubernur, menjadi ketua banom di lingkungan NU, atau memiliki massa yang banyak.

Menurut Anda standar NU dalam hal ini apa?

Yang disebut NU itu bermacam-macam faktor. Pertama, aktivis NU di mana mereka pernah sukses memimpin badan otonom NU, memimpin lembaga NU, atau bahkan penjadi pengurus tingkat PBNU atau PWNU. Kedua, mereka yang kelompok dzurriyahnya pendiri, atau putra-putrinya, atau bahkan cucunya pendiri, atau generasi kedua dan ketiga PBNU.

Ketiga, walau tidak masuk kepengurusan NU atau termasuk keluarga besar NU, adalah tentu pengasuh pondok pesantren NU atau pemimpin lembaga-lembaga yang secara ideologis berafiliasi dengan NU. Misalnya cendikiawan di universitas NU, atau orang yang lahir dan besar di pesantren atau lembaga pendidikan NU.

Keempat, termasuk ring NU ialah mereka tokoh-tokoh nasional yang memimpin majelis-majelis dzikir, mursyid thariqah atau dai nasional, yang ideologinya berafiliasi dengan ubudiyah orang NU.

Baca pula Semarak; Pelepasan Lulusan Pascasarjana Diiringi Gambus

Beberapa pengurus NU termasuk banom bersuara soal kriteria cawapres, ini fenomena apa?

Selama ini sejak survei keanggotaan dan hasil pemilu sejak pilpres 2009, pilpres 2014, pilpres 2019, menunjukkan data yang sama. Bahkan menguat. Bahwa kalau cawapresnya NU yang kuat, yang merepresentasikan psikologis komunitas dan umat NU maka akan menang.

Dalam situasi saat ini, akan dicari cawapres yang akan saling melengkapi, seperti memiliki pengalaman politik dan leadership, atau seorang teknokrat, serta menentukan dalam elektoral dan elektabilitas. Tapi sehebat apapun komposisinya, kalau tidak memenangkan elektoral tidak ada gunanya. Sebab, pilpres sekarang tidak ada incumbent, semua elektablitas capres marginnya sangat tipis. Tidak ada yang menyakinkan di atas 60 persen.

Misalnya pada jaman Pak SBY dan Pak Jokowi bisa menjadi contoh. Pak SBY yang menjadikan Pak JK (Jusuf Kalla) orang NU sebagai cawapresnya di periode pertama. Begitu juga saat Pak Jokowi di periode pertama menggandeng Pak JK yang juga notabene orang NU, bahkan juga masuk di jajaran Mustasyar PBNU. Pada periode kedua Pak Jokowi menggandeng KH Ma’ruf Amin yang waktu itu menjabat Rais Aam PBNU.

Sudah ditegaskan bahwa NU tidak akan berpolitik praktis, termasuk mendukung salah satu capres, apakah hal ini bisa terjadi?

Umat Islam, masa NU yang bebas terbuka, dengan gaya-gaya para tokoh NU, tradisi politik NU, dan kecerdasan politik buatan di NU akan bisa menjawabnya dengan cara NU. Di NU sudah ada panduan politik bagi warga NU yang diputuskan pada Muktamar di Krapyak Yogyakarta 1989. Mungkin itu menjadi pedoman berpolitik warga NU.

Penulis : Rofi’i Boenawi dari Majalah Aula