Mulailah dengan Menerima Perbedaan

Kita tidak menampik bahwa Indonesia adalah negara multikultur. Indonesia terdiri dari beragam budaya, suku, bahasa dan juga agama adalah fakta yang niscaya. Namun, apakah masyarakat Indonesia bisa dikatakan sebagai masyarakat multicultural? Tentang hal ini, tentu saja masih banyak hal yang perlu didiskusikan.

Salah satu ciri utama masyarakat multikultural adalah kemauan untuk menghargai, dan hidup dalam perbedaan. Perbedaan kultur tidak dianggap sebagai masalah dan sumber konflik, namun justru dinilai sebagai kekayaan yang harus dipelihara. Sebagai contoh, perbedaaan agama dan perbedaan pemahaman terhadap sumber-sumber agama, masing-masing dihargai. Tidak ada yang namanya lebih unggul dibanding yang lain. Dalam hal budaya juga demikian. Tidak ada suku atau bangsa tertentu yang lebih unggul dibanding yang lain. Pemahaman yang demikian pada akhirnya akan menjadikan sikap kita setara dalam memandang sesama, dan tidak lagi menyebut mereka sebagai “others”.

Akar dari konflik di Barat antara golongan kulit Putih dan Hitam juga berangkat dari keangkuhan ras yang menganggap golongan kulit putih lebih unggul dibandingkan golongan kulit hitam. Masyarakat kulit putih dianggap memiliki ras yang unggul dan lebih terdidik, sementara masyarakat kulit hitam dianggap memiliki ras yang rendahan, tidak terdidik, dan terlahir sebagai “budak”. Anggapan seperti inilah yang kemudian melahirkan sikap dan perilaku buruk masyarakat kulit putih terhadap masyarakat kulit hitam, yang kita tahu sampai sekarang konflik-konflik tersebut masih ada dan terjadi di Eropa maupun Amerika.

Lantas, apakah di masyarakat kita hal demikian tidak ada? Justru itulah permasalahannya. Kita memang sudah bertahun-tahun hidup dalam perbedaan, hingga menimbulkan semboyan terkenal, “Bhinneka Tunggal Ika”. Namun, kenyataan di lapangan, masyarakat kita masih belum terbiasa menerima dan menghargai perbedaan. Contoh kecil, masih kerap kita temui mengaitkan kejahatan atau perilaku criminal dengan etnis tertentu. Yang paling sering jadi korban dalam hal ini adalah orang timur. Orang timur digeneralisir sebagai orang yang suka membuat onar. Padahal, orang tua dan masyarakat adat timur tidak mengajarkan anak sukunya untuk melakukan kerusuhan atau perbuatan criminal lainnya. Kalaupun ada sebagian dari mereka yang melakukan perbuatan kriminal, maka tidak bisa digeneralisir bahwa orang timur semuanya demikian, sebagaimana juga perilaku criminal dilakukan oleh masyarakat suku lainnya, termasuk Jawa. Dan kita tahu, saat orang Jawa melakukan perbuatan kriminal, kita tidak pernah menyebut bahwa hal itu karena mereka orang Jawa.

Masyarakat Madura juga sering menjadi korban rasialisme di masyarakat Indonesia. Dalam beberapa komentar di twitter yang saya baca, orang Madura disebut jorok, dekil, berbicara nyaring dan seterusnya. Kalaupun ada orang Madura yang jorok, apakah hal itu adalah ajaran adat sehingga semua orang Madura itu jorok? Orang jorok dan yang berbuat kriminal ada di semua komunitas dan kelompok masyarakat. Karenanya, perbuatan-perbuatan tersebut tidak perlu diidentikkan dengan suku tertentu dan pada saat yang sama menganggap suku lain lebih unggul.

Hal tersebut hanya beberapa contoh kecil, yang dapat kita temui dalam dunia nyata. Contoh-contoh lain masih banyak, baik masalah cara berbicara, cara bersikap, dan seterusnya. Kadang kita lupa bahwa standar moral dan kesopanan memang berbeda dan kita memaksakan standar moral dan kesopanan kita terhadap orang lain, sehingga menimbulkan tidak sopan dan seterusnya.

Apakah dalam hal ini berarti kita harus memaklumkan semua perbedaan? Apakah artinya, kalaupun ada yang berbuat salah tetap kita bela? Tentu saja di sinilah fungsinya kita mengetahui nilai-nilai universal. Nilai-nilai universal ini tidak terbatas geografis, tidak terkerangkeng suku bangsa dan Bahasa. Nilai-nilai universal tersebut misalnya berkaitan dengan keadilan dan kemanusiaan. Perbuatan korupsi, mencuri, melukai, melecehkan, dan menghilangkan nyawa orang lain tentu saja harus ditindak dan tidak boleh diberi toleransi, apapun alasannya.

Memulai dari Hal-Hal Kecil     

Lantas bagaimana membangun sikap multikultur? Menurut saya, hal itu bisa dimulai dengan menerima perbedaan. Hal ini tentu saja membutuhkan proses yang cukup panjang. Namun, bisa dilatih melalui hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Tak usah jauh-jauh urusan perbedaan agama dan ajaran-ajarannya, tapi cukup dengan melatih untuk memahami pilihan orang lain yang berbeda dengan kita.

Sejujurnya, kita memang belum terbiasa melihat orang lain berbeda dengan kita. Satu contoh kecil, yakni tentang pilihan untuk tidak memakan nasi. Saat melihat orang tidak memakan nasi, kita merasa aneh, menganggap pilihan orang tersebut salah karena kebiasaan orang Indonesia yang selalu makan nasi dalam porsi yang banyak untuk memenuhi asupan karbohidrat dalam tubuh. Karenanya, tak jarang ada banyak ejekan yang diterima oleh orang yang tidak memakan tersebut. Bahkan tak jarang ada yang mengaitkannya dengan agama, dianggap tidak mensyukuri nikmat Tuhan. Padahal, kalau kita mau jujur, adakah nilai yang dilanggar oleh orang yang tidak memakan nasi tersebut? Apakah ada yang dirugikan dengan perbuatan tersebut? Tentu saja tidak ada, namun kita sulit memakluminya karena berbeda dengan kita.

Contoh lain yang kerap juga menimbulkan ejekan dari orangan lain adalah pilihan untuk tidak cepat menikah demi meraih cita-cita misalnya. Yang sering menjadi korban dalam hal ini adalah kaum perempuan. Kaum perempuan yang tidak segera menikah dianggap tidak laku. Padahal kadang mereka hanya ingin melanjutkan kuliah, mengejar cita-cita dalam bekerja atau lainnya. Tetapi, kita kerap tidak bisa memaklumi tersebut, hanya karena berbeda dengan pemahaman orang kebanyakan. Dalam pemahaman orang kebanyakan, perempuan harus menikah muda, tidak perlu kuliah tinggi-tinggi, apalagi bekerja mengejar karir. Alasannnya sederhana, karena dalam anggapan mereka tugas perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga. Di sinilah kita perlu bertanya, salahkan orang menunda nikah demi mencari ilmu? Mengejar karir? Mencapai cita-cita? Bukankah pernikahan adalah keputusan pribadi dan dia pula yang akan mempertanggungjawabkannya, baik secara sosial maupun agama?

Yang perlu kita sadari, sebagaimana kita, semua orang bebas punya pilihan dan tidak harus sama dengan kita. Ketika kita sudah menyadari bahwa pilihan orang lain tidak harus sama dengan kita, maka perlahan namun pasti, kita akan terbiasa melihat perbedaan. Kita akan menormalisasi perbedaan tersebut sebagai sebuah keniscayaan. Perbedaan bukanlah hal yang harus ditakuti, namun keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Dengan pemahaman demikian, maka kita akan terbiasa melihat perbedaan, hidup dalam perbedaan dan menghargai perbedaan tersebut. Awalnya mungkin dari hal-hal kecil dan dari kehidupan sehari-hari, namun perilaku tersebut nantinya akan berkembang dengan sendirinya, hingga menjadi pandangan hidup kita dalam melihat perbedaan dalam kerangka yang lebih umum.

Penulis: Paisun