“Sejarah itu guru yang berharga”, demikian adagium yang sering kita dengar tentang makna belajar sejarah. Seperti dari ratusan tahun kita dijajah bangsa asing, idealitasnya dapat atau telah membuat kita melek terhadap sekurang-kurangnya keberadaan penyakit dalam diri bangsa ini.
Ratusan tahun dijajah bangsa asing mestinya kita cerdas, bahwa dalam diri kita tentulah banyak mengidap penyakit mental, yang membuat kita gampang dijadikan bulan-bulanan atau dikorbankan oleh bangsa atau kekuatan asing. Kelemahan dalam diri sendiri merupakan sumber utama yang membuat kita gagal jadi “bangsa yang gagah” di tengah percaturan dunia.
Itu mestinya menunjukkan, bahwa pengalaman sejarah sudah mengajarkan kepada kita, bahwa akibat kebodohan yang mengidap masyarakat atau bangsa, tangan-tangan penjajah mencengkeram dan menindas negeri ini hingga ber-abad-abad. Kesalahan berabad-abad mengindikasikan seriusnya kelemahan yang menjangkitinya.
Kalau andaikan masyarakat atau bangsa ini menempati status sebagai masyarakat terpelajar atau terdidik, tentulah tidak akan sampai menjadi korban penjajahan demikian parah, atau minimal kita bisa menjadi bangsa yang bukan hanya siap bertarung, melainkan juga menjadi bangsa yang berani mengajak banghsa lain “bertarung” dalam ranah positip progresifitas.
Kalau begitu, yang patut dikedepankan sebagai akar kesalahan yang membuat bangsa ini takluk dan dibuat tidak berdaya oleh bangsa lain adalah kebodohan. Akibat kebodohan ini, bangsa lain bisa menipu, berbuat curang, atau mengadu-domba kita, sehingga kita menjadi kumpulan manusia-manusia yang tidak berdaya, digolongkan menjadi bangsa kuli, atau terpuruk dalam keprihatinan kemanusiaan.
Kekuatan asing juga tidak akan demikian mudah menjerumuskan kita dalam keterjajahan berlarut-larut jika mereka tidak mengetahui dengan benar kelemahan yang melekat dalam tubuh bangsa ini. Justru karena mereka paham dengan benar kelemahan kita, maka mereka berhasil menancapkan akar hegemoninya secara merajalela. Disinilah yang dimaksudkan kelemahan kita adalah sumber bagi kecerdasan bangsa lain untuk “mempermainkan” kita.
Kelemahan yang membuat kita terjajah adalah kebodohan. Terbukti, kekuatan asing yang pernah menjajah negeri ini, selalu berusaha mengkondisikan lahirnya dan maraknya tantangan atau hambatan berat yang menghambat langkah-langkah kaki dan tekad bangsa ini dalam menciptakan budaya belajar. Mereka tidak ingin bangsa ini pintar dan bebas dari kebodohan, karena jika bangsa ini pintar atau “merdeka” dari kebodohan, maka mereka akan mudah menggalang perlawanan atau sulit dijadikan obyek yang terus menerus dibodohi.
Apa yang disampaikan oleh cendekiawan Ali Bin Abi Thalib bahwa “siapapun yang pernah mengajari aku suatu ilmu (satu huruf), maka dialah guruku sepanjang hidupku”, adalah layak dijadikan sebagai refleksi kita bersama, bahwa gerakan pembebasan kebodohan harus benar-benar dihidupkan dan diberdayakan di sepanjang waktu, di setiap gerak nafas, setiap pergeseran zaman, dan perjalanan sejarah kehidupan manusia.
Pernyataan itu merupakan tantangan kepada setiap manusia supaya tidak membiarkan dirinya terjerat dalam penyakit kebodohan. Penyakit ini tidak boleh dipelihara dan apalagi dibudayakannya, karena jika penyakit ini masih saja dipertahankan, maka bangsa ini bukan hanya akan sulit memperoleh kemajuan dan pencerahan, tetapi juga akan menjadi manusia dan bangsa yang gampang dijadikan korban.
Belajar dari pengalaman bersejarah sebagai “bangsa terjajah” ratusan tahun seharusnya menyadarkan kita atau setiap elemen bangsa ini supaya menyalakan obor semangat dan mentalitas untuk membebaskan diri dari penyakit kebodohan. Penyakit ini memang layak ditempatkan sebagai “musuh utama”, karena dari kebodohan inilah berbagai bentuk penyakit lain yang membuat bangsa ini tidak berdaya akan rawan tumbuh subur. Gerakan masyarakat pembelajar sudah mendesak dilakukan setiap elemen bangsa ini untuk mengeliminasi penyakit kebodohan, yang salah satunya bersumber primer dari produk norma yuridis, yang memberi “ruang” toleransi dehumanisasi. Produk norma yuridis bisa disebut sebagai salah satu pemberi yang terbaik dalam kehidupan bangsa, namun juga sebaliknya bisa memberikan kondisi atau persoalan yang serius padanya.
Logis jika rakyat berharap besar pada lahirnya atau terbentuknya norma yuridis yang memahami dan mengadopsi kepentingan fundamentalnya. Ketika kepentingan ini tidak diakomodasi oleh para pembentuk peraturan perundang-undangan, maka yang harus didekonstruksinya adalah norma yuridisnya, bukan rakyatnya yang disuruh beradaptasi atau belajar memahami dan menyikapi pembaruan.
Oleh: Dr. Drs. H. M. Muhibbin, S.H., M.Hum
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Malang dan penulis sejumlah Buku
Tulisan ini juga telah dipublikasikan di timesindonesia.co.id
Photo by Unicef