Pelanggaran Serius Hak Edukasi

Masih layakkah kita disebut beragama yang berbasis kemasyarakatan dan kerakyatan, kalau kita lebih sibuk mengurus diri sendiri, partai, kroni, atau kepentingan-kepentingan eksklusif, sementara di tengah masyarakat bertebaran anak-anak di kantong-kantong kebodohan, yang salah satunya ditandai dengan buta aksara.  Masih patutkah kita digolongkan masyarakat  berideologi Pancasila, kalau jutaan warga masih mengisi kantong-kantong ketidakberdayaan akibat pendidikannya rendah?

Jika mengacu pada satu sisi yuridis saja, sebenarnya kita ini belum layak disebut sebagai masyarakat yang sedang konsentrasi pada dunia pendidikan, pasalnya dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Jelas dalam piranti yuridis itu menunjukkan, bahwa seharusnya system pendidikan atau persekolahan diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi riil masyarakat. Pendidikan tidak boleh hanya memperhatikan golongan elit, sementara golongan alit dilupakan.  Komunitas alit juga mempunyai hak-hak asasi seperti bebas dari kebodohan dan “kefakiran” ilmu.

Misalnya masih banyaknya anak-anak kita dari keluarga miskin yang masih buta aksara merupakan bukti konkrit bahwa kita, khususnya pemerintah belum serius memperhatikan masalah pendidikan. Pemerintah hanya sibuk mengemas kulitnya pendikan, uang masuk yang diperoleh sekolah,   dan sisi menterengnya  bangunan sekolah, sementara kepentingan pendidikan riil masyarakat, seperti penyelenggaraan pendidikan yang bebaskan buta aksara yang benar-benar membebaskan keprihatinan edukatif yang menimpa orang atau keluaega miskin masih diabaikannya.

Praktik semacam itu jelas layak dikategorikan sebagai pelanggaran norma yuridis  secara serius terhadap hak edukasi. Asas keadilan dan keadaban dalam dunia pendidikan yang seharusnya ditegakkan, justru dilecehkan. Masyarakat miskin yang seharusnya dibebaskan dari “kefakiran” ilmu tidak ditempatkannya sebagai proyeksi istimewa pembumian penyelenggaraan pendidikan yang memihaknya. Akibatnya, masyarakat miskin semakin identik dengan penyakit pendidikan yang bernama buta aksara.

“Dosa” secara yuridis  edukasi itu identik dengan dosa publik secara agama, pasalnya  dalam agama juga diperintahkan supaya setiap bentuk penyakit sosial seperti kebodohan wajib dientasnya.  Agama melarang keluarga, masyarakat, atau bangsa memilki generasi yang lemah. Bukti generasi lemah terletak pada buta aksara yang menimpa masyarakat.

Bagaimana mungkin konstruksi negara bisa kuat di tangan generasi yang berpenyakitan secara edukasi (attarbiyah)? negara hanya  bisa kuat dan berjaya di tangan generasi yang bergelar pembebas atau masyarakat pembelajar, yang aktifitasnya menghadirkan pemerdekaan keterbelakangan pendidikan atau mewujudkan pencerahan edukasi.

Nabi Muhammad SAW pernah punya “proyek istimewa” di bidang pembebasan sahabat-sahabatnya yang mengalami buta aksara. Strategi pembebasannya diwujudkan dengan cara “menghukum” tawanan perang untuk menjadi guru. Tawanan perang yang pandai menulis, membaca, dan berhitung, dihukum secara edukatif, yakni mengajar kepada sahabat-sahabat itu hingga terbebaskan dari penyakit buta aksara, membaca, dan lain sebagainya.

Dalam kasus seperti itu, seharusnya kita layak merefleksikannya sebagai pelajaran berharga. Nabi merupakan sosok pemimpin yang berani menentukan langkah atau diskresi revolosioner di bidang pendidikan dengan cara melibatkan tawanan perang yang berbeda keyakinan, ideologi, dan agama untuk menjadi guru bagi masyarakat (pengikutnya).

Dalam hal transformasi ilmu pengetahuan, perbedaan agama dan ideologi tidak dijadikannya sebagai penghalang yang bisa membuat mandulnya cita-cita pembaharuan. Di sinilah Nabi menghitung dengan cerdas, bahwa fondasi kemajuan masyarakat dan bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia. Islam, tidak akan bisa menjadi agama yang mencerahkan masyarakat, kalau ahli dakwahnya atau komunitasnya bukanlah manusia terdidik.

Sahabat Ali Ra, pernah bilang, seseorang yang mengajarkan aku satu huruf, maka ia adalah guru seumur hidupku. Apa yang diucapkannya ini menjadi suatu deklarasi esensi ilmu pengetahuan bagi masyarakat. Dari satu huruf saja, masyarakat bisa berkenalan, menjelajah, atau memasuki ranah ijtihad  guna memperdalam masalah keilmuan.

Pengakuan itu juga menunjukkan tentang pentingnya transformasi keilmuan di tengah masyarakat. Adanya jutaan masyarakat yang masih buta aksara mengindikasikan, bahwa sedang terjadi impotensi transformasi keilmuan. Ada segolongan masyarakat yang cendekia dan berdaya dengan uangnya, sementara banyak masyarakat miskin hidup tak berdaya dan buta aksara akibat stagnannya proses transformasi.

Oleh: Dr. Drs. H. M. Muhibbin, S.H., M.Hum
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Malang dan penulis sejumlah Buku
Tulisan ini juga telah dipublikasikan di timesindonesia.co.id

Gambar: