Merawat Negara Hukum

Negara yang sudah memilih konstitusi sebagai supremasi atau norma-norma yuridis sebagai produk negara yang digunakan pijakan hidup berbangsa dan bernagara, maka stigma negara hukum mesti melekat padanya. Filosof Franz Magnis Suseno menyebut, bahwa secara moral politik setidaknya ada empat alasan utama  orang  menuntut agar negara diselenggarakan (dijalankan) berdasarkan atas hukum yaitu: (1) kepastian hukum,  (2) tuntutan perlakuan yang sama,  (3) legitimasi demokrasi, dan  (4) tuntutan akal budi.

Pendapat Magnis Suseno itu menunjukkan, bahwa  tidak mungkin negara dibiarkan lepas tanpa hukum. Hukum harus ada sebagai bukti kalau negara itu tidak sekedar ada, melainkan juga bisa berperan lebih baik dalam mengatur dirinya, mengatur hubungan antara dirinya dengan warga atau rakyat, dan hubungan antara sesama warga atau rakyat.  Kewajiban negara dan rakyat akan diukur  melalui rambu-rambu yang sudah terumus di dalam hukum. Dalam tahap mengatur hubungan inilah, kedudukan hukum jelas menjadi piranti normatif yang strategis dalam membangundan menguatkan demokrasi.

Hal itulah yang mendasari kenapa negara itu layak menyebut dirinya sebagai negara hukum.  Hukum menjadi pengawal utama kehidupan  negara. Diantara yang dikawal oleh hukum untuk ditegakkan dan diwujudkan adalah kehidupan demokrasi. Norma-norma hukum yang berisi aturan tentang perilaku yang harus dikerjakan dan dilarang untuk diperbuat akan menentukan ke arah mana demokrasi diantarkan.

Pemikir hukum kenamaan Von Savigny menyebut, bahwa  negara hukum tidak bisa dilepaskan dari pengertian negara demokrasi. Hukum yang adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara yang demokratis.  Dalam negara yang demokrasi, hukum diangkat, dan merupakan respon dari aspirasi rakyat. Oleh sebab itu hukum dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Istilah “rechtsstaat” (negara hukum) tersebut secar ahistoris muncul abad ke-19.  Lebih muda dari dari istilah-istilah ketatanegaraan lainnya seperti: demokrasi, konstitusi, kedaulatan, dan lain sebagainya. Menurut Soediman Kartohadiprodjo, istilah “rechtsstaat” pertama kali di gunakan oleh Rudolf ven Gueist seorang guru besar Berlin.  Tetapi konsep negara hukum itu sendiri sudah dicetuskan sejak abad ke-17, bersama-sama dengan timbulnya perlawanan terhadap sistem pemerintahan (kekuasaan) yang  absolut, otoriter, bahkan sewenang-wenang. Secara teoritikal konsep negara hukum lahir sebagai reaksi terhadap konsep kedaulatan negara tradisional yang di gagas oleh: Augustinus, Thomas Aquinas (teori kedaulatan tuhan) , Machiavelli, Paul Laband, Georg Jellinek   (teori negara kekuasaan), Jean Bodin  (teori kedaulatan raja), Thomas Hobbes  (teori konstruk, Home homini lupus), Rouseau, Montesquieu, John Lockc (teori kedaulatan rakyat),  Hugo de Groot, Krabbe, Leon Duguit (teori kedaulatan hukum atau supremacy of law).

Joeniarto  menyatakan bahwa negara hukum  atau “asas the rule of law”  berarti bahwa dalam penyelenggaraan negara segala tindakan penguasa dan masyarakat negara harus berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka dengan maksud untuk membatasi kekuasaan penguasa dan melindungi kepentingan masyarakat yakni perlindungan terhadap hak asasi manusia  dari tindakan yang sewenang-wenang.

 Pendapat itu menunjukkan bahwa kedudukan hukum itu strategis dalam mengatur kehidupan negara. Penguasa menjadi sah dalam menjalankan aktifitasnya  adalah berpijak pada hukum yang berlaku. Tindakan dan diskresi yang diambil oleh penguasa, rujukannya adalah hukum. Sandaran kepada hukum ini bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan penguasa dalam berperilaku, tetapi menyangkut kepentingan makro kehidupan bangsa. Kalau sudah begini, sebenarnya ada larangan keras memainkan hukum. Sebaliknya ada kewajiban untuk terus menerus merawatnya, yang diantaranya dengan konsisten menjaga penyelenggaraan (kegiatan) demokrasi dari praktik-praktik yang disnormatifitas yuridis. 

Dapat kita pelajari dari pendapat Hugo Krabbe (guru besar Universitas Leiden),  yang dimaksud dengan “hukum” pada konsep negara hukum bukan semata-mata hukum formal yang diundangkan, tetapi hukum yang ada di masyarakat,  dan  hukum formal  adalah  benar apabila sesuai dengan hukum materil yakni perasaan hukum yang hidup di masyarakat. Menurut Friedrich Julius Stahl, negara hukum   harus memenuhi  (memiliki) empat unsur  (elemen) yaitu: (1) terjaminnya Hak Asasi Manusia  (HAM),  (2) pembagian kekuasaan, (3) pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan  (4) peradilan tata usaha negara.

Tidak jalannya konsep negara hukum dalam realitasnya, khususnya dalam implementasi hukumnya telah menjadikan tercemarnya kedudukan negara hukum. Stigma yang ditujukan kepada negara hukum digeser menjadi negara kekuasaan dan kedudukan hukum terdistorsi menjadi subordinasi negara kekuasaan.

Praktik penyelenggaraan kekuasaan atau implementasi roda kehidupan pemerintah dalam beberapa aspek strategis tidak boleh terjebak dalam penyimpangan hukum, yang maknanya setiap penyelenggara kekuasaan berwajiban merawat negara hukum ini supaya tidak terpolusi oleh hal-hal yang mendestruksi atua menodainya, termasuk yang bersumber dari dirinya sendiri dan kelompok.

Oleh: Dr. Drs. H. M. Muhibbin, S.H., M.Hum
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Malang dan penulis sejumlah Buku
Tulisan ini juga telah dipublikasikan ditimesindonesia.co.id