Korupsi, Penodaan Serius Negara Hukum

dr muhibbin unisma

Beberapa waktu lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap bupati Kutai Timur dan istrinya, serta Ketua DPRD. Mereka ditetapkan sebagai tersangka.

Penangkapan itu tentulah menampar wajah Inodonesia sebagai negara hukum. Mengapa pula mereka yang sudah digaji cukup oleh negara masih juga melibatkan dirinya dalam praktik kotor yang bukan hanya menodai korp kekuasaanya, tetapi juga mendestruksi marwah Indonesia sebagai negara hukum. Apa gunanya identitas negara hukum, kalau para pemangku amanat strategis yang mendapatkan tugas menjaganya, menjerumuskan dirinya dalam penodaan..

Penodaan negara hukum menjadi tak terhindarkan akibat pemegang amanat yang berperan menjaganya, lebih menjatuhkan opsi menahbiskan atau mengabsolutkan berburu uang. Uang diposisikan sebagai instrument yang wajib dipenuhinya.

Baca pula: Raih Akreditasi A, Prodi Pascasarjana Unisma Bisa jadi Pilihan Utama

 Filosof kenamaan Aristotelas mengingatkan, “semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan (uang), maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kebenaran, kesusilaan, keadilan, dan kepatutan”.

Ucapan Aristoteles tidaklah salah. Filosof asal Yunani ini mengingatkan tentang kebenaran rumus kausalitas (sebab-akibat) terjadinya dan maraknya kejahatan di masyarakat atau dalam kehidupan bernegara yang bersumber pada penahbisan uang.

Saat seseorang atau sekelompok orang beridentitas pemburu kursi dan berlimpah uang dengan jabatannya ini masih tergelincir pada praktik pemujaan atau pengabsolutan uang, maka norma apapun, termasuk norma agama dan hukum bisa dilindasnya habis-habisan.

Magnet uang terbukti luar biasa bagi sebagian elemen penegak hukum negeri ini. Pengaruhnya mampu menarik dan menjadikannya kehilangan kecerdasan moral, edukatif, spiritual, dan hukum. Daya pesonanya membuat aparat atau birokrat itu takluk dan menyerah dikuasainya. Elitis kekuasaan seperti bupati atu ketua dewan dan lainnya menjadi kalah dan bahkan menikmati kekalahannya.  

Bahkan banyak elemen negara yang statusnya pintar secara edukatif atau terpelajar seperti aparat penegak hukum yang bersikap senang dan “kreatif” melibatkan dirnya dalam penyalahgunaan keuangan rakyat (negara).

Mereka itu rela menjadi koruptor dan tak merasa malu merendahkan dirinya terjerumus dalam kriminalisasi jabatannya. Mereka berani kalahkan kepintaran atau kecendekiaannya dengan cara “merampok” kekayaan yang bukan menjadi haknya.

Status jabatan seseorang atau sekelompok orang yang mapan dan dukungan keilmuan yang dimilikinya di ranah yudisial, eksekutif, dan legislative misalnya telah menempatkan dirinya sebagai tokoh penting dalam dunia korupsi.

Dirinya itu, selain bisa menjadi penikmat kriminalisasi jabatan, juga bisa menggandeng, berkolaborasi, atau mendorong pihak-pihak lain menjadi “tangan-tangan gaib”, seperti mengajak pengusaha bersalah untuk bergabung dengan dirinya.

Pola kriminalisasi yang dilakukan seperti ini setidaknya dapat terbaca, bahwa ada beberapa “tangan-tangan gaib“  yang terlibat dalam mengarsiteki dan memuluskan jalannya korupsi.

Dalam ranah itu, korupsi menjadi lebih mudah dilaksanakan ketika berelasi dengan kekuatan lain yang memediasi dan menyediakan bermacam-macam instrumen yang memperlicinnya.

Itu makin jelas ketika supremasi “tangan-tangan gaib”  bertali-temali dengan kalkulasi jumlah kerugian keuangan negara yang tergolong besar. Logikanya, kasus demikian menciptakan masifikasi korupi secara berjamaah  yang bukan hanya nntuk mengamankan keuntungan, tetapi juga saling melindungi dalam proses  purifikasi (penyucian) atas modus operandi kejahatannya yang bisa jadi lebih serius.

Upaya saling melindugi merupakan karakter utama korupsi berjamaah. Semakin besar jamaah  yang dikonstruksi, maka semakin kuat pula politik perlawanan yang ditunjukkannya pada aparat penegak hukum atau pejuang kebenaran dan keadilan.

Proses itu ditunjukkan ketika ada diantara pelaku korupsi yang terseret atau terendus aparat penegak hukum.  Mereka saling melindungi diantaranya dengan ditunjukkan melalui testimoni yang dapat mengaburkan. membuat ragu atau bisa membuat “gagap” aparat penegak hukum.   

Juwita W dalam Fenomena korupsi berjamaah di Indonesia (2012) menyebutkan, bahwa modus korupsi berjamaah di Indonesia sebenarnya persis seperti sistem Multi Level Marketing (MLM).

Dalam sistem itu, seringkali karyawan bawah di suatu instansi dijadikan prajurit terdepan dalam aksi. Uang yang diperoleh oleh karyawan level bawah akan diteruskan ke atasannya, begitu terus sampai ke pucuk pimpinan. Karyawan level bawah di suatu instansi menghadapi resiko terbesar, sedangkan hasil yang diperoleh adalah hasil terkecil dalam aksi tersebut.

Dengan sistem itu, jika terjadi sesuatu di luar skenario, maka karyawan level bawahlah yang terlebih dahulu dikorbankan untuk masuk penjara atau diposisikan sebagai tumbal. Para oknum pimpinan dengan koneksi politik dan uang “rampasan “yang banyak memiliki modal untuk selamat dari jeratan hukum.

Para tersangka kasus korupsi berjamaah yang kini tengah populer di media sebenarnya hanyalah pion. Jika (sebagai pengandaian) semua pelaku korupsi berjamaah diseret ke pengadilan, negara ini mungkin bisa bubar atau tak lagi punya marwah sama sekali karena jumlahnya yang terlalu banyak.

Dalam tulisan Hasibuan (2015) pernah diingatkan “Negara bisa menjadi tuyang-tuyang ketka setiap pilarnya terjerumus dalam praktik-praktik yang secara terus menerus menghabisi keberdayaan norma apapun, khususnya norma yuridis.”

Baca pula: Dari Homonisasi ke Humanisasi

Paradigma korupsi  itu menunjukkan, bahwa kekuatan jamaah  atau organisasi tetap berada di tangan pemilik “tangan-tangan gaib”. Sang pemilik tangan-tangan gaib seperti pihak yang menawarkan uang suap dalam jumlah besar, merupakan elemen strategis yang mendapatkan keuntungan besar, yang bisa jadi di akhir “hikayat” proses hukum, nantinya menjadi pihak yang diuntungkan.

Membaca pola seperti itu, idealitasnya penyidik KPK merasa ditantang atau dieksaminasi profesionalismenya oleh “tangan-tangan gaib” koruptor. Koruptor tentu tidak akan membiarkan diri dan kekuatannya dikalahkan oleh KPK. Mereka ini akan terus memperbanyak “pelatihan”  guna memperkuat  jaringannya dalam memperoleh uang berlaksa.

Oleh: Dr. Drs. H. M. Muhibbin, S.H., M.Hum
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Malang dan penulis sejumlah Buku
Tulisan ini juga telah dipublikasikan di malangpost.com