Ghibah, atau membicarakan keburukan orang lain di belakang mereka, menjadi permasalahan sosial yang kerap ditemui di berbagai komunitas, tak terkecuali masyarakat di perkampungan. Namun, tak jarang pula ghibah ini seolah-olah menjadi “kegiatan sehari-hari” yang distigmakan sebagai kebiasaan masyarakat tak berpendidikan. Stigma ini perlu dikritisi, agar kita bisa melihat persoalan ini dengan lebih jernih dan komprehensif.
Menelusuri Akar Permasalahan
Masyarakat di perkampungan seringkali memiliki ikatan sosial yang erat. Mereka hidup bertetangga, saling mengenal, dan kehidupan sehari-hari mereka pun tak jarang saling terkait. Dalam situasi ini, gosip dan rumor memang mudah menyebar. Namun, alih-alih sekadar bergosip, ghibah kerap kali didasari oleh perasaan iri hati, dengki, atau cemburu.
Misalnya, ketika ada warga desa yang berhasil meraih pendidikan tinggi dan sukses dalam karier, alih-alih ikut berbangga, segelintir orang mungkin akan mulai bergunjing. Mereka mungkin akan mempertanyakan cara orang tersebut mendapatkan kesuksesannya, atau bahkan melemparkan isu miring tanpa dasar.
Dampak Ghibah yang Meluas
Ghibah tak hanya berdampak buruk bagi yang dibicarakan, tetapi juga bisa meracuni keharmonisan sosial di lingkungan tersebut. Ghibah dapat menciptakan suasana saling curiga, fitnah dapat berkembang, dan rasa percaya antar warga bisa terkikis. Korban ghibah bisa mengalami tekanan psikologis, bahkan terasingkan dari lingkungan sosialnya.
Ghibah yang meluas dalam suatu lingkungan dapat mengakibatkan kerusakan dalam hubungan sosial antar individu. Suasana saling curiga dan ketidakpercayaan antar warga akan merajalela, karena setiap orang menjadi waspada terhadap kemungkinan fitnah atau omongan negatif tentang dirinya. Ini bisa memecah belah komunitas dan mengurangi keharmonisan dalam interaksi sehari-hari. Misalnya, teman-teman yang dulunya akrab menjadi jauh karena terpengaruh oleh ghibah yang tersebar.
Ghibah yang meluas juga dapat memberikan dampak psikologis yang serius pada korban yang menjadi sasaran pembicaraan negatif. Mereka mungkin mengalami tekanan mental dan emosional karena merasa terpapar oleh gosip dan fitnah yang tidak benar. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan harga diri, kecemasan, dan bahkan depresi. Lebih lanjut lagi, korban ghibah bisa merasa terisolasi atau terasingkan dari lingkungan sosialnya, karena merasa tidak aman atau tidak nyaman berada di tengah-tengah orang-orang yang menghakimi atau menyebarkan informasi negatif tentang mereka.
Baca pula Pelanggaran Serius Hak Edukasi
Lebih lanjut, ghibah yang terus-menerus dibiarkan dapat menghambat kemajuan bersama. Alih-alih termotivasi untuk meraih pendidikan dan memperbaiki kehidupan, masyarakat di perkampungan justru terjebak dalam pusaran iri dan dengki. Akibatnya, potensi yang dimiliki oleh individu maupun desa secara keseluruhan tidak dapat berkembang secara optimal.
Hal tersebut dikarenakan ghibah yang meluas dalam sebuah masyarakat perkampungan dapat mengganggu keharmonisan dan kerjasama antarindividu. Ketika ghibah menjadi budaya yang dibiarkan berkembang, orang-orang cenderung saling curiga dan tidak percaya satu sama lain. Hal ini dapat menciptakan lingkungan sosial yang tidak sehat, di mana kolaborasi dan dukungan antarwarga menjadi sulit terwujud. Sebagai akibatnya, upaya untuk mencapai kemajuan bersama, seperti pengembangan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan, atau pengembangan potensi ekonomi lokal, akan terhambat karena adanya perpecahan dan ketidakpercayaan di antara warga masyarakat.
Baca pula Wakil Rakyat Hasil Politik Uang: Boneka Oligarki atau Pembela Rakyat?
Selain itu, ghibah yang meluas juga dapat menghambat perkembangan potensi individu maupun desa secara keseluruhan. Ketika energi dan perhatian masyarakat terfokus pada gosip dan fitnah, hal tersebut akan mengurangi motivasi dan kesempatan bagi individu untuk berkembang secara pribadi dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kehidupan mereka. Selain itu, ketika masyarakat terjebak dalam siklus iri dan dengki akibat ghibah, kolaborasi dan dukungan untuk mengembangkan potensi lokal juga menjadi terhambat. Sehingga, desa atau komunitas tersebut tidak mampu mengoptimalkan sumber daya dan potensi yang dimilikinya untuk mencapai kemajuan yang berkelanjutan.
Menerobos Stigma dan Mencari Solusi
Stigmatisasi bahwa ghibah adalah kebiasaan masyarakat tak berpendidikan perlu dihilangkan. Ghibah, atau menggosip tentang orang lain secara negatif, tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat tak berpendidikan. Sebenarnya, praktek ini bisa ditemukan di berbagai lapisan masyarakat. Menganggap bahwa hanya orang-orang tidak terdidik yang melakukan ghibah adalah upaya untuk menyederhanakan masalah yang kompleks. Penting untuk memahami bahwa praktek ini dapat dilakukan oleh siapa pun, terlepas dari tingkat pendidikan mereka.
Daripada hanya menyalahkan kelompok tertentu dalam masyarakat, penting untuk menekankan pentingnya pendidikan dan kesadaran akan dampak negatif dari ghibah. Menciptakan kesadaran akan pentingnya menghargai privasi dan martabat orang lain, serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi secara positif, dapat membantu mengurangi praktek ghibah di masyarakat secara keseluruhan. Dengan memfokuskan upaya pada meningkatkan etika dan kesadaran, kita dapat menciptakan perubahan yang lebih berkelanjutan dalam perilaku masyarakat terkait dengan ghibah.
Penulis: Imam Alfafan Yakub