Dari Homonisasi ke Humanisasi

Dengan tersucikannya dimensi fungsional kekhalifahan­nya itu, menguatlah prinsip “pemartaban dan pemanusiaan manusia”, tercerabutlah prinsip “homonisasi” dan membumilah prinsip humanisasi. Tidak ada lagi yang merasa besar dan arogan di depan sesamanya, yang ada dan menguat adalah saling kerjasama (kooperatif) untuk menyemarakkan kebenaran, kearifan dan kebajikan.

Idealisme itulah yang sebenarnya menjadi pancaran cahaya teologi kemanusiaan, suatu model keimanan  terapan, kesalehan aplikatif yang tidak terhalang oleh sekat-sekat kepentingan ideologi, politik, suku, ras atau dimensi primordialisme dan bahkan keberagamaan itu sendiri. Keimanan demikian akan membuat setiap orang yang meyakininya menjadi bening nurani dan cerdas pikirannya dalam menyikapi kehadiran dan peran-peran orang lain.

Sosok pelaku demikian itu wajib terkosentrasi mobilitas konstruktifnya dalam lini “pengabdian universalitas”, yang selalu membuka mata hatinya terhadap keprihatinan yang mendera, menyiksa,  dan menkomplikasi masyarakat, dan perilakunya juga tercegah dari multiragam strategi dan aksi petualangan pribadi dan sindikasi berdalih demi kepentingan eksklusif yang mengakibatkan kemaslahatan masyarakat terkebiri dan merugi.

Manusia demikian itulah yang digolongkan oleh Nabi Muhammad sebagai “manusia beriman yang mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Dalam sabda Nabi lainnya pun dipertegas, “orang-orang yang beriman itu ialah yang percaya kepada Allah, rasulNya, hari Akhir dan mencintai tetangganya”. Ajaran kenabian ini menggariskan prinsip universalitas, bahwa hidup manusia di dunia ini bukan untuk dirinya sendiri,

Ajaran Nabi itu meletakkan konstruksi emansipatif  yang idealnya wajib dilakukan umat manusia. Orang yang beriman tidak akan dimasukkan pada jajaran manusia yang mencintai Allah manaka­la hidupnya tidak diabdikan secara universalitas kepada sesa­manya. Begitu pun jika manusia Indonesia masih terhegemoni egosentrisme, individualisme dan hedonisme, menkultuskan diri dan nilai-nilai kebendaan yang melekat pada dirinya, maka ia belum pantas sebagai hamba yang beriman, hamba yang berserah diri dan mencitai Tuhannya.

Tidak sebatas hak-hak masyarakat dalam mengamalkan ajaran agama saja yang wajib dihormati  dan diberikan hak demokratisasinya oleh manusia Indonesia, tetapi hak-hak untuk memperoleh hidup layak, bebas dari ketakutan, dan bermartabat juga wajib diwujudkan.

Kalau terbatas hak mengamalkan ajaran agama yang dihormati, sementara hak-hak priviles lainnya sebagai subjek sosial dan pembangunan tidak “dimanusiawikan” dan dipopulisasikan,  serta dibiarkan telanjang dari basis keberadilan dan keberadaban, maka bentuk penghormatan itu hanya bersifat eksoterik dan belum menyen­tuh substansi teologi emansipatif-humanistik, suatu konstruksi keimanan sosial  yang berkesederajatan, menjunjung tinggi prinsip kebersamaan  dan kooperatif, yang menyentuh relung-relung kehidupan masyarakat secara empirik.

“Pengabdian universalitas” yang berhasil diabdikan dan diabadikannya itu akan melahirkan suatu bangunan masyarakat yang terbebas dari polaris­asi yang bernuansakan klik-klik dan sekat-sekat destruktif, sebab masing-masing individu akan menunjukkan dinamisasi dan demokratisasi yang sarat oleh semangat kepejuangan, saling berlomba meretas kemiskinan dan pengangguran, tak membiarkan  anak-anak papa kekurangan gizi dan kehilangan hak memperoleh pendidikan  yang layak, atau saling bergiat diri pada persoalan penyelesaian kemaslahatan manusia.

Model pengabdian profetis tersebut merupakan “garansi” terhadap terbentuknya dan terjaganya integritas social yang “saleh”. Perkembangan kehidupan masyarakat misal­nya akan sulit terhindarkan dari gerak pemarakan kekacauan (chaos), kriminalitas dan ekspresi kecemburuan sosial yang destruktif seperti lahirnya terorisme dan kejahatan berklas istimewa (extsra ordinary crime), manakala sekelompok elitnya semisal aparat penegak hukum yang jelas-jelas telah men-syahadah-kan dirinya sebagai komunitas elitisme mendisain pola hidup, berelasi korp, dan bangunan politiknya dengan cara koruptif, manip­ulatif atau berkolaborasi dengan elit birokrasi, serta memproduk banyak “kezaliman social”.

Jikalau hidup merupakan ganjaran yang dapat dibeli dengan uang, maka orang kaya mau hidup dan orang miskin mau mati, demikian  pepatah tua, dikutip dari  Jenny Taichman (1996), yang sejatinya merupakan kritik radikal yang ditujukan pada  sekelompok elit yang dipercaya membawa dan mengibarkan pesan suci negara, yang dalam realitasnya hanya menempatkan negara sebagai symbol, paradigma, dan jargon structural untuk melakukan penipuan, pelanggaran HAM, dan memproduk ragam “kemaksiatan” kekuasaan.

*Penulis adalah Ketua Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Malang dan penulis sejumlah buku.
*Tulisan ini teleh terbir sebelumnya di duta.co